Thursday, 10 May 2018

Religi Suku Murba Di Sulawesi


BAB I 

PENDAHULUAN 



1.1 Latar Belakang 

Suku murba adalah suku-suku bangsa yang sekalipun hidup dalam abad sekarang ini, namun masih peradaban zaman purba. Dalam makalah ini, kelompok akan membahas tentang religi suku murba di Sulawesi. Sulawesi termasuk kawasan perbatasan antara kebudayaan Indonesia Timur dan Indonesia Barat, karena itu terdapat percampuran kebudayaan. Sulawesi didiami banyak suku yang memiliki religi yang berbeda-beda. Dalam pembahasan ini akan di bahas suku religi Toraja dan sedikit religi suku di Minahasa, untuk mengetahu percampuran keduanya. 

1.2 Rumusan Masalah 

Bagaimana religi suku murba di Sulawesi khususnya religi suku Toraja dan religi suku Minahasa? 

1.3 Tujuan penulisan 

Untuk mengetahui seperti apa religi suku murba di Sulawesi. 


BAB II 

PEMBAHASAN 

Religi Suku Murba di Sulawesi 



1. Religi Suku Toraja 

Suku Toraja terdiri dari beberapa suku, yaitu Toraja Sandang, yang berdiam di bagian barat daya dari Sulawesi Tengah dan di Jazirah barat laut Sulawesi, Toraja Bare’e yang berdiam di bagian barat Sulawesi Tengah dan suku Toraja Barat yang berdiam di bagian barat Sulawesi Tengah. 

a. Keyakinan Terhadap Dewa 

Bagi suku toraja barat ada dua tokoh ilahi yang menonjol, Alatala dab Buriro. Alatala adalah sebutan tokoh dewa yang tertinggi yang sudah dipengaruhi oleh agama islam (Allah ta’ala). Nama sebenarnya tak dapat dikenal dengan pasti. Mungkin nama-nama asli itu terkandung didalam sebutan-sebutan tambahan bagi Alatala, umpamanya Topeteru (sang pengaduan atau sang pembentuk), Topebagi (sang pembagi nasib), Topejadi (sang pencipta), Topehoi (sang pengembus), dan sebagainya. 

Pada umumnya, Alatala dipandang sebagai tokoh dewa, yaitu bapa segala sesuatu atau pencipta segala sesuatu, yang hanya memperhatikan kepentingan-kepentingan umum, umpamanya suka duka seluruh suku, perkara sumpah, dan sebagainya. Ia dipandang bersemayam di sorga (langit). Namun ada juga suku yang memandang sebagai tokoh dewi, yang dihubungkan dengan bumi (ibu bumi). 

Buriro tidak memiliki gambaran yang sama. Bahkan kadang-kadang namanya tidak dikenal sama sekali. Pada umumnya, buriro dipandang sebagai dewa kesuburan yang menghadiahkan padi serta bersikap baik terhadap manusia. Hanya kadang-kadang buriro juga dipandang berbuat jahat terhadap manusia, umpamanya menagkap manusia untuk dijadikan makanan buaya, atau jika orang berani membakar padi, tempat kediamanya ada di batu-batu ladang-ladang yang tidak ditanami lagi, pohon kelapa, aren. Buriro adalah matahari, sebab ada kalanya juga ia dianggap beristrikan bulan. Umpamanya, gerhana matahari dijelaskan sebagai terjadinya percekcokan antara matahari dan bulan. 

Diantara suku Toraja tengah bagian timur, yaitu ditengah-tengah suku toraja Baree, ada tiga kelompok tokoh ilahi juga, yaitu : 

1. Dewa yang tertinggi 

Jumlah dewa tertinggi hanya beberapa. Diantaranya yang terpenting adalah Lai (laki-laki), yang berdiam dilangit, dan nDara (anak dara). Kedua tokoh ini jarang dipuja. Namun mereka tidak dilupakan. Kedua tokoh ini jarang dipuja. Namun mereka tidak dilupakan. Tokoh yang lain adalah Pue di Songi. Ada kemungkinan tokoh tokoh ini sebenarnya sama dengan Lai. Tokoh yang paling terkenal di antara rakyat adalah PuemPalaburu (Tuhan yang membentuk), yang dipandang sebagai pencipta segala sesuatu. Menurut para imam, tokoh ini adalah anak Lai dan nDara. Sementara Li dan nDara dipuja sebagai tokoh-tokoh ilahi yang berdiam diatas dan dibawah, Pue mPalaburu dipuja sebagai yang berdiam di tempat matahari terbit dan tenggelam. 



2. Dewa langit, dewa bumi dan dewa di alam bawah bumi 

Mereka biasanya dipandang lebih rendah dari pada kelompok yang pertama. Jumlah mereka lebih banyak. Mereka hidup sebagai manusia, yang terkenal diantaranya wurake. Mereka berdiam di awing-awang. Para imam banyak berhubungan dengan mereka. Rakyat lebih banyak berhubungan dengan roh-roh yang ada di bumi yang watak-wataknya dan tempat kediamannya dikenal, sehingga rakyat tahu apa yang harus dilakukan untuk menghindarkan diri dari kemarahannya. 



3. Roh nenek moyang 

Roh ini adalah roh yang sudah diadakan pesta kematian baginya sehingga sudah dipandang sejajar dengan dewa. Nenek moyang ini menjadi adat dan menghukum mereka melanggar adat ini. Orang memerlukan berkat nenek moyang, terlebih jika ada kejadian penting, seperti perkawinan. Pemujaan terhadap roh nenek moyang tidak terjadi secara mencolok. Setiap keluarga dan setiap ibu dapat berhubungan dengannya, yaitu dengan mempersembahkan sajian yang terdiri dari makanan dan minuman ketika makan dan pesta keluarga. 



b. Mite penjadian 

Diantara suku toraja barat, ada pandangan bahwa bumi adalah suatu daratan besar yang bulat dan rata, serta dilingkupi oleh langit sebagai suatu kubah. Pada umumnya, di Toraja Barat orang berpendapat bahwa awalnya langit dan bumi bertumpang tindih, sehingga jarak keduanya sangat dekat. Oleh karena itu, manusia yang hidup di bumi tidak dapat berdiri tegak. Kemudian langit diangkat dari bumi. 

Gambaran umum terjadinya manusia di Toraja Barat adalah demikian, semula Alatala, sebagai Topeteru (sang pengadun), menjadikan sepasang manusia dari tanah liat (kadang-kadang ada cerita bahwa mula-mula Alatala mencobanya dari kayu, tetapi ketika ia tidak berhasil, barulah ia mencobanya dengan tanah liat). Kadang –kadang Alatala jua digambarkan sebagai seorang pandai yang menempa manusia dan binatang dengan palu. 

Pandangan bahwa manusia dijadikan dari tanah liat itu mungkin dijiwai oleh gagasan bahwa bumi atau ibu bumilah yang melahirkan manusia sebagai anaknya. 

Menurut suku toraja Bare’e, semula nDara berada di alam atas bersama-sama dengan tokoh-tokoh dewa lainnya. Akan tetapi karena ia melakukan persetubuhan dengan saudara sepupunya sendiri, ia di usir dari alam atas. PuemPalaburu menurunkannya melalui kawat, hinga ia sampai dilaut yang besar. Ia di ombang-ambingkan pada kawat itu sehingga menimbulkan buih di lautan yang sepi itu, kemudian melekat pada nDara. Buih itu membeku dan menjadi tanah yang kemudian menutupi nDara. Lapisan tanah itu semakin lama semakin tebal dan membesar dan luas sehingga tidak terukur lagi. Tumbulah rumput dan tumbuh-tumbuhan di atasnya. Suku toraja Bare’e biasanya tidak begitu tahu tentang siapa sebenarnya yang menjadikan manusia. Cerita lebih tua menyebutkan Pue Lamoa (Tuhan Allah), sedang cerita yang lebih muda menyebutkan Pue mPalameru sebagai penciptanya. 

Cerita yang lebih tua yaitu dewa atas dan dewa bawah bersepakat untuk menjadikan manusia. Dijadikanlah , patung dari batu (kadang-kadang juga disebut dari kayu). Sedangkan cerita yang lebih muda menceritakan Pue mPalameru memiliki banyak bahan (onderdil) untuk penciptaan manusia, umpamanya tangan, tulang rusuk, dan jari. 

c. Keyakinan tentang jiwa manusia 

Suku Toraja Barat dan Toraja Bare’e mengakui dua macam jiwa, yaitu tanuana (bagi Toraja Barat) atau tanoana (bagi Toraja Bare’e) dan tinuwu. 

Tinuwu adalah daya hidup atau hidup itu sendiri atau umur. Daya hidup ini dihubungkan dengan bagian – bagian tubuh dan dengan segala sesuatu yang keluar dari tubuh. Daya hidup inilah yang menjadikan semua bagian tubuh berfungsi seperti seharusnya. 

Tanuana disebut juga wayo, bayangan atau gambar. Keadaannya digambarkan seperti tokoh manusia yang kecil. Ia dapat keluar dari tubuh, umpamanya di dalam mimpi. Jika orang telah mati, tanauana-nya meninggalkan tubuh untuk selama-lamanya. Namun sebelum diadakan persta kematian yang terakhir, tanuana masih dipandang berada di sekitar tubuhnya dan di sekitar mereka yang hidup. Tanuana dapat menampakan diri dalam bermacam-macam wujud untuk memberitahukan kehadirannya pada orang yang hidup. 

Oleh suku Toraja bare’e, jiwa orang yang baru saja mati disebut angga. Jiwa ini ditakuti. Orang lebih suka tidak berhubungan dengan jiwasemacam itu, sebab bertemu dengan angga berarti mati. Sekalipun demikian, angga dipuja juga, dengan harapan tidak akan mengganggu yang hidup. 

d. Pesta kematian 

Tujuan pesta kematian adalah untuk memindahkan arwah sang wafat dari tempat peristirahatan sementara, yaitu torate. Pada umumnya, pesta ini diadakan setahun sesuadah orang tersebut meninggal. Pesta kematian ini dipandang sangat perlu, sebab arwah-arwah yang ada do torate hanya mendatangkan maut dan kecelakaan bagi orang yang masih hidup. Jadi, mereka harus dipindahkan ke wawomaborosi, tempat terang dan hidup dari sana mereka dapat memberkati keturunannya. 

Di Toraja Barat pesta ini disebut mompemate dan diadakan selama tiga hari di suatu bangunan yang memang didirikan untuk keperluan itu. Di toraja Tengah bagian timur, pesta ini disebut montengke, dan diadakan selama tujuh hari di kuil desa. 

e. Pandangan 

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa mite perkawinan antara langit dan bumi yang dihubungkan dengan Dewa Lai dan Dewi nDara adalah mite yang lebih tua, yang agaknya kemudian terdesak oleh mite lain yang dihubungkan dengan Pue mPalaburu. 

Di dalam upacara-upacara keagamaan yang resmi, Dewa Pue mPalaburu dipandang sebagai yang terpenting. Ia dipandang sebagai Tuhan dan Wakil alam atas. Segala upacara keagamaan pada hakikatnya ditujukan kepadanya. 

Gambaran yang ada di sekitar Pue mPalaburu agaknya dihubungkan dengan motof kosmis-realisme, artinya dengan antagonism antara alam atas dan alam bawah seperti yang tampak menonjol di Indonesia bagian barat. 

2. Religi Suku Minahasa 

Kata yang di pakai untuk dewa oleh suku ini adalah empung, yang semula berarti nenek. Menurut cerita mitenya, pada mula pertama Empung Lumimuut adalah seorang dewi. Ada mite yang mengatakan bahwa ia tercipta dari bumi, tetapi ada mite yang mengatakan bahwa ia tercipta dari sebuat batu besar. Sang dewi yang kesepian ini kemudian kemudian dibuahi oleh angin dari barat, sehingga ia melahirkan seorang anak, yaitu Dewa Matahari, yang disebut Toar. Kedua orang ini mengembara sendiri-sendiri. Pada suatu hari, mereka bertemu tanpa saling mengenal. Toar kawin dengan ibunya sendiri. Dari perkawinan ini lahir para dewata dan umat manusia. 

Menurut cerita yang lain, Lumimuut memukul sebuah batu hingga pecah. Dari batu ini lahirlah seorang imam perempuan, Kareima. Imam inilah yang menyebabkan Lumimuut dibuahi oleh angin dari barat. Kemudian Lumimuut kawin dengan anaknya sendiri, Toar. 



BAB III 

PENUTUP 



KESIMPULAN 

Tidak bisa dipungkiri bahwa suku murba masih hidup di tengah-tengah masyarakat/bangsa sampai saat ini. Di Indonesia sendiri terdapat beragam suku murba, khususnya yang telah di bahas kelompok yaitu religi suku murba di Sulawesi di dalamnya terdapat suku Toraja dan suku Minahasa. Suku Toraja mempercayai dewa-dewa baik yang menciptakan segala sesuatu maupun yang ada di bumi. Suku Toraja juga sangat mempercayai roh nenek moyang. Mereka akan mempersembahkan sesajian untuk memohon berkat khususnya ketika acara perkawinan. Selain itu terdapat juga pesta kematian yang dilakukan setahun setelah seseorang meninggal dan banyak sekali ritual yang dilakukan terkait kematian tersebut. Sama halnya dengan suku Toraja, suku Minahasa juga mempercayai dewa-dewi. Mereka meyakini bahwa Empung Lumimuut adalah dewi yang melahirkan Toar. Dari Toar Lumimuut inilah lahir anak-anak yang nantinya menjadi dewata dan umat manusia.