Thursday, 10 May 2018

Religi Suku Murba Di Kalimantan




A. Pendahuluan 

Suku murba di Kalimantan sebagian besar mendiami daerah pedalaman. Hanya sedikit suku murba yang mendiami daerah pantai dan daerah di sepanjang tepi sungai-sungai yang besar. Kedua daerah tersebut didiami oleh suku Melayu, Bugis dan suku-suku lainnyayang beragama Islam. 

Penduduk suku murba di Kalimantan disebut sebagai suku Dayak, walaupun sebenarnya ada perbedaan yang banyak antara suku yang satu dan suku yang lain, baik di bidang kebudayaan maupun di bidang bahasa. Yang akan dibicarakan di sini adalah suku Dayak Ngaju, yaitu suku Dayak yang terbesar, yang berdiam di daerah Sungai Kahaya, Kapuas dan Katingan. Religi suku ini sudah diselidiki secara mendalam sehingga kita banyak mengetahui kepercayaan mereka. 



B. Keyakinan Terhadap Dewa 

Menurut keyakinan suku Dayak Ngaju, ada dua tokoh dewa yang tertinggi, yaitu Mahatala dan Jata. Mahatala yang juga disebut Hatala atau Lahatala (sebutan-sebutan yang menunjukkan pengaruh agama Islam) memiliki sebutan yang lain Juga, umpamanya Mahatara dan Bahatara: Guru (sebutan-sebutan yang menunjukkan pengaruh agama Hindu). Nama aslinya adalah Tingang (burung enggang atau rangkok; menurut Dr. F. Ukur burung garuda). 

Jata (nama yang juga menunjukkan pengaruh agama Hindu) memiliki nama asli Tamban dan sering juga disebut Bawin Jata Balawang Bulau, artinya Wanita Jata Berpintukan Permata (vagina). 

Cerita tentang kedua dewata ini saling bertentangan. Ada yang mengatakan bahwa keduanya sudah ada sejak semula. tanpa ada yang menjadikan, tetapi ada juga yang mengatakan bahwa keduanya terjadi karena sentuhan dua bukit. Mana yang benar, sukar untuk ditentukan. 

Kedua dewa ini menampakkan din pada manusia dalam perwujudan emblem atau simbol. Mahatala menampakkan diri dalam perwujudan burung enggang. sedangkan Jam menampakkan diri dalam perwujudan naga. Sering kali kedua dewa ini juga sering di gambarkan sebagai satu kesatuan dalam perwujudan, baik seekor burung enggang yang bersisik atau seekor naga yang berbulu burung enggang. 

Oleh karena itu kedua dewata ini dapat dipandang sebagai satu kesatuan dalam keduaan, suatu dwitunggal, suatu totalitas dewa yang abivalen, yang dwiganda, yang memliki dua sifat saling bertentangan, yaitu yang menyatukan di dalam dirinya sifat yang baik dan jahat, hidup dan mati, demikian juga terang dan gelap. 

Selain percaya akan 5 roh-roh, suku Ngaju masih juga percaya pada roh-roh lain, yang diantaranya pada roh-roh nenek moyang. Roh-roh ini juga di pandang sebagai pengawas dan pembela adat. Mereka melindungi dan menjaga kampung, sungai, keluarga dan sebagainya, roh-roh ini juga dapat di pandang sebagai wakil-wakil Mahatala dan Jata. Di dalam mereka, kedua tokoh dewa tu hadir dan berbuat. 



C. Mite Penjadian 

Didalam mite penjadian dituturkan bahwa segala sesuatu terjadi dalam beberapa tahap. 

a. Tahap pertama 

Sebelum alam semesta di jadikan, yang ada semula adalah dua bukit, yaitu bukit emas dan bukit permata, tempat kediaman kedua dewa yang tertinggi. Berkali kali kedua bukit ini bertabrakan. Tabrakan pertama menyebabkan adanya awan, sedangkan tabrakan kedua menyebabkan adanya bentangan langit. Tabrakan ketiga menghasilkan gunung-gunung dan batu karang, sedangkan tabrakan keempat melahirkan bulan dan matahari. Tabrakan kelima menyebabkan adanya budung-burng di langit dan ikan di laut, sedang tabrakan keenam melahirkan binakan rowang riwo yang memiliki ludah emas dan binatang didis mahendra dengan mata batu pernata. Akhirnya tabrakan ketujuh menghasilkan mahkota mahatala yang terdiri dari emas dan dihias dengan sebuah batu permata yang berdiri tegak. 



b. Tahap kedua 

Tidak diceritakan dengan jelas. Jelasnya, pada akhir tahap kedua ini alam atas dan alam bawah sudah terjadi sebagai suatu totalitas. Akan tetapim pada waktu itu belum ada manusia dan tempat kediamannya. 



c. Tahap ketiga 

Mahatala memanggil Jata untung berunding di alam atas. Dalam perundingan itu, Mahatala mengangkat mahkotanya keatas. Perbuatan ini menyebabkan tumbuhnya sebatang pohon-pohon hidup yang memiliki daun terbuat dari emas dan buah terbuat dari gading. 



D. Keyakinan Tentang Alam Semesta (Kosmos) 

Alam semesta terdiri dari tiga bagian, yaitu Alam Atas, Alam Tengah, dan Alam Bawah. 

Alam tengah, yaitu bumi ini, tidak lain adalah ruang hidup yang dikenal oleh suku Ngaju, yang dipandang sebagai tanah suci. Tanah ini diterima dari dewa mereka sebagai hadiah. Bumi dianggap terletak di samudra yang pertama, di antara alam atas dan alam bawah di atas punggung Jata. Selanjutnya bumi dibatasi oleh ekor naga yang ditegakkan di satu sisi dan kepalanya di sisi lain. Kecuali gambaran tersebut, ada gambaran bahwa dunia ini erbentuk lingkaran yang dilingkari oleh naga dengan menggingit ekornya sendiri. Maksud dari gambaran-gambaran itu ialah untuk menunjukan bahwa dunia ini didukung oleh dewa dan bahwa manusia hidup di bawah naungan perlidnungan, damai dan keselamtan dari dewa. Manusia hidup di tanah suci yang dimiliki oleh Mahatala dan Jata. 



E. Desa Pertama Batu Nindan Tarong 

Desa ini mewujudkan pola pertama bagi segala gambaran kosmolgis. Dunia bagi suku Ngaju adalah desanya sendiri. Desa itu menjadi pusat alam semesta. Disitulah dilakukan tindakan-tindakan kultus yang besar. Apa yang ada diluar daerah itu dianggap asing, menakutkan, mencelakakan. Oleh karena itu desa-desa lain dan suku-suku lain dianggap tidak memiliki realitas. Semua itu diangggap dunia sendiri yang berada ditepi dunia yang sebenarnya. Yang dimasukan ke dalam dunia desanya hanya desa-desa yang tetangga yang berada di hillir dan di udik sungai tempat mereka berdiam. Pada waktu hari raya besar, mereka mewakili seluruh suku Ngaju dan tanahnya. 



F. Susunan Masyarakat Ngaju 

Suku Ngaju memandang diri mereka dilahirkan dari Mahata dan Jata serta hidup seutuhnya dari kedua tokoh dewa. Kedudukan suku dipandang sama dengan kedududkan suku dipandang sama dengan kedudukan seluruh alam semesta, yang keberadaanya juga disebabkan kedua dewata tersebut sangat totalitas. Suku Ngaju adalah suku yang suci. Mereka berada karena dikehendaki oleh dewa-dewa, dan tata tertib kehidupanya adalah tata tertib ilahi.suku Ngaju mengungkapkan keadaan ilahi dan keadaan kosmos, suku Ngaju identic dengan kosmos itu sendiri. 

Suku Ngaju terdiri dari dua kelas masyarakat, yakni kelas orang merdeka dan kelas orang budak. Memang di samping itu juga masih ada golongan lain, yaitu golongan imam dan golongan hautuen. Penggelompokan ini terjadi berdasarkan fungsi mereka bukan berdasarkan keturunan. 

Golongan pertama adalah golongan Jipen, yang dapat bebas jika mereka membayar utang mereka. Golongan kedua dan ketiga disebut rewar, yang menjadi budak turun-temurun. Semua golongan Imam diambil dari kelas orang merdeka, tetapi kemudian diambil dari kelas budak. Golongan Hantuen dipandang sebagai keturunan roh jahat dan dianggap mewakili alam jahat. Mereka adalah para ahli tenung dan sihir yang sangat ditakuti. Dengan demikian inti masyarakat adalah orang merdeka yang terdiri dari dua golongan yang masing-masing dikaitkan dengan ala, atas dan alam bawah atau Mahatala dan Jata. 

Golongan pertama dikaitkan dengan Mahatala dan alam atas adalah orang-orang tinggi dan kaya. Mereka inilah yang memegang pimpinan dalam masyarakat, mereka juga yang memiliki harta kekayaan religius. Golongan ini berdiam di bagian udik (Ngaju) dari desa serta memiliki rumah yang besar dan indah. Golongan kedua dikaitkan dengan Jata dan alama bawah adalah orang miskin dan rendah. Mereka disebut manusia merah sesuai dengan warna Jata dan alam bawah. Mereka miskin dalam arti kebendaan, sebab kadang-kadang mereka lebih kaya daripada golongan orang putih yakni mahatala. Kemiskinan mereka secara keagamaan, mereka tinggal di rumah-rumah di bagian hilir (ngawa) dari desa dan tergolong rumah yang sederhana. 

Dalam hal ini suku Ngaju juga mengaitkan antara dualism seksual yakni, laki-laki dikaitkan dengan Mahatala dan perempuan dikaitkan dengan Jata. 



G. Keyakinan tentang jiwa 

Suku Ngaju, pada dasarnya dapat dikatakan mengenal dua maam jiwa, yaitu; hambaruan dan liau. Hambarruan merupakan jiwa yag menggerakkan tubuh, baik tubuh manusia maupun binatang. Hambaruan ini hanya terdapat pada orang yang hidup. Hambaruan ini berasal dari Mahatala. Jadi orang yang sudah meninggal hambaruannya kembali kepada Mahatala sebagai napas. 

Liau memiliki 4 aspek yang penting: 

1) Liau baru akan tampil jika orang sudah mati 

2) Liau dipandang sebagai suatu eksistensi yang baru dari manusia. 

3) Liau memiliki bentuk penampakan yang bermacam-macam (panyalumpok liau dan liau karahang) 

4) Lmasing-masing liau harus mengalami perjalanan yang berbahaya di akhirat, 

Pada dasarnya liau adalah bentuk eksistensi manusia yang dimulai dengan kematiannya. 



H. Pesta kematian (tiwoh) 

Ada dua macam penguburan bagi orang yang sudah mati, yaitu; upacara kematian yang biasa (ritus penguburan) dan pesta kematian (tiwoh). 

Uapacara kematian biasa ini maksudnya adalah memimpin liau ketempat peristirahatan semantara, yaitu di Bukit Pasahan Raung imam. Para liau menunggu untuk dilakuan upacara yang yang kedua yaitu tiwoh. Sementara para liau menunggu untuk dilaksanakannya tiwoh, agar supaya para liau tidak kehabisan daya hidup maka harus dipersembahkan sesajian. 

Tiiwoh yang artinya lepas dari kewajiban atau bebas, dimaksudkan untuk memimpin liau di dalam perjalanannya kea lam akhirat menuju ke lewu liau, tempat jiwa dipersatukan dengan nenek moyangnya, dan untuk kedua kalinya memakamkan tulang-tulang sang wafat ditempat yang disebut sanding. Biaya pesta kematian tiwoh ini sangat mahal sehingga biasanya di tunggu kira-kira 60 orang yang mati untuk diadakan bersama-sama. Kecuali ada orang kaya yang ingin melakukannya sendiri. Untuk jangka waktu mengadakan pesta bagi sang wafat umumnya 2 tahun sekali, tapi tidak ada jangka waktu yang ditentukan. Persiapan untuk pesta biasanya dilakukan berbulan-bulan. Pesta berlangsunb selama 7 hari. Tiga hari sebelum tiwoh dimulai, orang menjemput wafat yang mula-mula dimakamkan. 

Pada hari pertama, perempuan mempersiapkan makanan untuk hari berikutnya. Hari kedua, merupakan hari kurban manusia yang disebut andou kabalik. Pada hari ketiga, dilakukan maga liau karahang, yaitu pemakaman tulang-tulang wafat ke tampat yang tetap. Hari keempat, perempuan juga harus mempersiapkan makanan untuk fari berikutnya. Hari kelima, ini disebut andou laboh, perkabungan. Seluruh suku diundang untuk berpesta, juga mereka yang sudah tidak berada dialam hidup. Hari ini dimulai dengan malalohan, yaitu pemberian hadiah. Hari keenam dan ketujuh adalah hari penyucian semua orang yang ikut serta dalam perayaan tiwoh ini. 



I. Pandangan singkat 

Seluruh religi suku Ngaju harus dilihat dari gagasannya tentang para dewa dan tentang penciptaannya. Dipihak yang satu Mahatala dan Jata bertentangan, tetapi dipihak yang lain mereka disatukan. Maka motf dasar suku religi Ngaju adalah adanya pengaruh timbale balik antara peperangan Mahatala dan Jata. Kesatuan kedua dewata itu lahir bukan karena dualitasnya, bukan juga sifatnya yang dwiganda itu ditiadakan karena kesatuannya, melainkan didalam kesatuannya mereka tetap dua, dan didalam sifat dwigandanya mereka tetap satu. Oleh karena itu, religi suku Ngaju tidak mengajarkan dualisme. Tetapi mengajarkan adanya dua asas yang secara hakiki saling bertentangan tanpa dapat dipersatukan. 

KESIMPULAN 

Suku dayak sangat mencintai ketentraman dan perdamaian. Selama kita tidak mengganggu dan mengusik mereka, suku dayak sangat aman dan memiliki rasa hormat yang tinggi, saling menghargai antar sesame anggota suku dayak. Belajar dari suku dayak bahwa kebersamaan itu indah dan saling menghargai satu dengan yang lain.