Thursday, 10 May 2018

Suku Murba Di Kalimantan


Religi Suku Murba di Kalimantan
Dayak atau Daya (ejaan lama: Dajak atau Dyak) adalah nama yang oleh penduduk pesisir pulau Borneo diberi kepada penghuni pedalaman yang mendiami Pulau Kalimantan (Brunei, Malaysia yang terdiri dari Sabah dan Sarawak, serta Indonesia yang terdiri dari Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan). Budaya masyarakat Dayak adalah Budaya Maritim atau bahari. Hampir semua nama sebutan orang Dayak mempunyai arti sebagai sesuatu yang berhubungan dengan "perhuluan" atau sungai, terutama pada nama-nama rumpun dan nama kekeluargaannya.
Ada yang membagi orang Dayak dalam enam rumpun yakni rumpun Klemantan alias Kalimantan, rumpun Iban, rumpun Apokayanyaitu Dayak Kayan, Kenyah dan Bahau, rumpun Murut, rumpun Ot Danum-Ngaju dan rumpun Punan. Namun secara ilmiah, para linguis melihat 5 kelompok bahasa yang dituturkan di pulau Kalimantan dan masing-masing memiliki kerabat di luar pulau Kalimantan:
"Barito Raya (33 bahasa, termasuk 11 bahasa dari kelompok bahasa Madagaskar, dan Sama-Bajau),"Dayak Darat" (13 bahasa), "Borneo Utara" (99 bahasa), termasuk bahasa Yakan di Filipina, "Sulawesi Selatan" dituturkan 3 suku Dayak di pedalaman Kalbar: Dayak Taman, Dayak Embaloh, Dayak Kalis disebut rumpun Dayak Banuaka. "Melayik" dituturkan 3 suku Dayak: Dayak Meratus/Bukit (alias Banjar arkhais yang digolongkan bahasa Melayu), Dayak Iban dan Dayak Kendayan (Kanayatn). Tidak termasuk Banjar, Kutai, Berau, Kedayan (Brunei), Senganan, Sambas yang dianggap berbudaya Melayu. Sekarang beberapa suku berbudaya Melayu yang sekarang telah bergabung dalam suku Dayak adalah Tidung, Bulungan (keduanya rumpun Borneo Utara) dan Paser (rumpun Barito Raya). Masyarakat Dayak Barito beragama Islam yang dikenali sebagai suku Bakumpai di sungai Baritotempo dulu.
Istilah "Dayak" paling umum digunakan untuk menyebut orang-orang asli non-Muslim, non-Melayu yang tinggal di pulau itu.Ini terutama berlaku di Malaysia, karena di Indonesia ada suku-suku Dayak yang Muslim namun tetap termasuk kategori Dayak walaupun beberapa diantaranya disebut dengan Suku Banjar dan Suku Kutai. Terdapat beragam penjelasan tentang etimologi istilah ini. Menurut Lindblad, kata Dayak berasal dari kata daya dari bahasa Kenyah, yang berarti hulu sungai atau pedalaman. King, lebih jauh menduga-duga bahwa Dayak mungkin juga berasal dari kata aja, sebuah kata dari bahasa Melayu yang berarti asli atau pribumi. Dia juga yakin bahwa kata itu mungkin berasal dari sebuah istilah dari bahasa Jawa Tengah yang berarti perilaku yang tak sesuai atau yang tak pada tempatnya.
Arti dari kata ‘Dayak’ itu sendiri masih bisa diperdebatkan. Commans (1987), misalnya, menulis bahwa menurut sebagian pengarang, ‘Dayak’ berarti manusia, sementara pengarang lainnya menyatakan bahwa kata itu berarti pedalaman. Commans mengatakan bahwa arti yang paling tepat adalah orang yang tinggal di hulu sungai.  Dengan nama serupa, Lahajir et al. melaporkan bahwa orang-orang Iban menggunakan istilah Dayak dengan arti manusia, sementara orang-orang Tunjung dan Benuaq mengartikannya sebagai hulu sungai. Mereka juga menyatakan bahwa sebagian orang mengklaim bahwa istilah Dayak menunjuk pada karakteristik personal tertentu yang diakui oleh orang-orang Kalimantan, yaitu kuat, gagah, berani dan ulet. Lahajir et al. mencatat bahwa setidaknya ada empat istilah untuk penuduk asli Kalimantan dalam literatur, yaitu Daya', Dyak,Daya, dan Dayak. Penduduk asli itu sendiri pada umumnya tidak mengenal istilah-istilah ini, akan tetapi orang-orang di luar lingkup merekalah yang menyebut mereka sebagai ‘Dayak’.
Agama
Masyarakat Dayak menganut agama leluhur yang diberi nama oleh Tjilik Riwut sebagai agama Kaharingan. Sekarang, agama ini kian lama kian ditinggalkan. Sejak abad pertama Masehi, agama Hindu mulai memasuki Kalimantan dengan ditemukannya peninggalan agama Hindu di Amuntai, Kalimantan Selatan, selanjutnya berdirilah kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha. Semenjak abad ke-4 masyarakat Kalimantan memasuki era sejarah yang ditandai dengan ditemukannya prasasti peninggalan dari Kerajaan Kutai yang beragama Hindu di Kalimantan Timur. Penemuan arca-arca Buddha yang merupakan peninggalan Kerajaan Brunei kuno, Kerajaan Sribangun (di Kota Bangun, Kutai Kartanegara) danKerajaan Wijayapura. Hal ini menunjukkan munculnya pengaruh hukum agama Hindu-Buddha dan asimilasi dengan budaya India yang menandai kemunculan masyarakat multietnis yang pertama kali di Kalimantan. Dengan menyebarnya agama Islam sejak abad ke-7 mencapai puncaknya di awal abad ke-16, masyarakat kerajaan-kerajaan Hindu menjadi pemeluk-pemeluk Islam yang menandai kepunahan agama Hindu dan Buddha di Kalimantan. Sejak itu mulai muncul hukum adat Melayu/Banjar yang dipengaruhi oleh sebagian hukum agama Islam (seperti budaya makanan, budaya berpakaian, budaya bersuci), namun umumnya masyarakat Dayak di pedalaman tetap memegang teguh pada hukum adat/kepercayaan Kaharingan. Sebagian besar masyarakat Dayak yang sebelumnya beragama Kaharingan kini memilih Kekristenan, namun kurang dari 10% yang masih mempertahankan agama Kaharingan. Agama Kaharingan sendiri telah digabungkan ke dalam kelompok agama Hindu (baca: Hindu Bali) sehingga mendapat sebutan agama Hindu Kaharingan. Namun ada pula sebagian kecil masyarakat Dayak kini mengkonversi agamanya dari agama Kaharingan menjadi agama Buddha (Buddha versi Tionghoa), yang pada mulanya muncul karena adanya perkawinan antarsuku dengan etnis Tionghoa yang beragama Buddha, kemudian semakin meluas disebarkan oleh para Biksu di kalangan masyarakat Dayak misalnya terdapat pada masyarakat Dayak yang tinggal di kecamatan Halong di Kalimantan Selatan. Di Kalimantan Barat, agama Kristen diklaim sebagai agama orang Dayak (sehingga Dayak Muslim Kalbar terpaksa membentuk Dewan Adat Dayak Muslim tersendiri), tetapi hal ini tidak berlaku di propinsi lainnya sebab orang Dayak juga banyak yang memeluk agama-agama selain Kristen misalnya ada orang Dayak yang sebelumnya beragama Kaharingan kemudian masuk Islam namun tetap menyebut dirinya sebagai suku Dayak. Agama sejati orang Dayak adalah Kaharingan. Di wilayah perkampungan-perkampungan Dayak yang masih beragama Kaharingan berlaku hukum adat Dayak, namun tidak semua daerah di Kalimantan tunduk kepada hukum adat Dayak, kebanyakan kota-kota di pesisir Kalimantan dan pusat-pusat kerajaan Islam, masyarakatnya tunduk kepada hukum adat Melayu/Banjar seperti suku-suku Melayu-Senganan, Kedayan, Banjar, Bakumpai, Kutai, Paser, Berau, Tidung, dan Bulungan. Bahkan di wilayah perkampungan-perkampungan Dayak yang telah sangat lama berada dalam pengaruh agama Kristen yang kuat kemungkinan tidak berlaku hukum adat Dayak/Kaharingan. Di masa kolonial, orang-orang bumiputera Kristen dan orang Dayak Kristen di perkotaan disamakan kedudukannya dengan orang Eropa dan tunduk kepada hukum golongan Eropa. Belakangan penyebaran agama Nasrani mampu menjangkau daerah-daerah Dayak terletak sangat jauh di pedalaman sehingga agama Nasrani dianut oleh hampir semua penduduk pedalaman dan diklaim sebagai agama orang Dayak.
Jika kita melihat sejarah pulau Borneo dari awal. Orang-orang dari Sriwijaya, orang Melayu yang mula-mula migrasi ke Kalimantan. Etnis Tionghoa Hui Muslim Hanafi menetap di Sambas sejak tahun 1407, karena pada masa Dinasti Ming, bandar Sambas menjadi pelabuhan transit pada jalur perjalanan dari Champa ke Maynila, Kiu kieng (Palembang) maupun ke Majapahit. Banyak penjabat Dinasti Ming adalah orang Hui Muslim yang memiliki pengetahuan bahasa-bahasa asing misalnya bahasa Arab. Laporan pedagang-pedagang Tionghoa pada masa Dinasti Ming yang mengunjungi Banjarmasin pada awal abad ke-16 mereka sangat khawatir mengenai aksi pemotongan kepala yang dilakukan orang-orang Biaju di saat para pedagang sedang tertidur di atas kapal. Agamawan Nasrani dan penjelajah Eropa yang tidak menetap telah datang di Kalimantan pada abad ke-14 dan semakin menonjol di awal abad ke-17 dengan kedatangan para pedagang Eropa. Upaya-upaya penyebaran agama Nasrani selalu mengalami kegagalan, karena pada dasarnya pada masa itu masyarakat Dayak memegang teguh kepercayaan leluhur (Kaharingan) dan curiga kepada orang asing, seringkali orang-orang asing terbunuh. Penduduk pesisir juga sangat sensitif terhadap orang asing karena takut terhadap serangan bajak laut dan kerajaan asing dari luar pulau yang hendak menjajah mereka. Penghancuran keraton Banjar di Kuin tahun 1612 oleh VOC Belanda dan serangan Mataram atas Sukadana tahun 1622 dan potensi serangan Makassar sangat mempengaruhi kerajaan-kerajaan di Kalimantan. Sekitar tahun 1787, Belanda memperoleh sebagian besar Kalimantan dari Kesultanan Banjar dan Banten. Sekitar tahun 1835 barulah misionaris Kristen mulai beraktifitas secara leluasa di wilayah-wilayah pemerintahan Hindia Belanda yang berdekatan dengan negara Kesultanan Banjar. Pada tanggal 26 Juni 1835, Barnstein, penginjil pertama Kalimantan tiba di Banjarmasin dan mulai menyebarkan agama Kristen. Pemerintah lokal Hindia Belanda malahan merintangi upaya-upaya misionaris.
RELIGI SUKU MURBA DI TAPANULI
Keyakinan terhadap dewa Mula Jadi ( Debata Mula Jadi Na Bolon) Dipandang sebagai pencipta. Merupakan dewa tertinggi serta tidak memiliki awal dan akhir, (Pengaruh dari agama Kristen), ciptaan awalnya ialah Dewa Tritunggal. Dewa tri tunggal Batara Guru, merupakan dewa terpenting. Dilambangkan sebagai hakim yang adil dan dihubungkan dengan kuda hitam sebagai kudanya yang suci. Soripada (Debata Sori) ia tinggal di Banjar tonga tonga. Digambarkan sebagai Ahli pidato namun tindakanya tidak terkendalikan dan mudah marah, dilambangkan dengan kuda putih sebagai peliharaanya yang suci Mangala Bulan (Bala Bulan), ia tinggal di Banjar Toruan (Kota di bawah tanah) merupakan dewa yang jahat dan sering menjerat manusia untuk menjatuhkanya. Ia dilambangkan dengan kuda belang. Dewa Lain Debata Asiasi. Dewa ini memiliki fungsi dan tempat yang sangat aneh. Ia mewujudkan keseimbangan diantara dewa tritunggal. Tetapi ia tidak memiliki kuasa untuk memimpin. Ia tergantung kepada dewa tritunggal itu. debata Padoha (Seekor naga). Ada anggapan ia adalah saudara kembar balabulan. Ada juga yang mengatakan ia sudah ada sejak awal. Kepada naga padoha ini ditambahkan tiga dewa yaitu Boru Saniang Naga, Boraspati Ni Tano, Pare Na Bolon. Yang memiliki kedudukan yang sama dengan dewa tritunggal dan ketiga dewa ini menjelmakan diri kedalam kekuatan kekuatan alam serta gejala alam.
Keempat Penciptaan Tahap pertama, Mula jadi menjadikan dewa tri tunggal dan pohon dunia Tahap kedua, Dunia dijadikan dengan seorang wanita bernama Sidaek Parujar Tahap ketiga, Perkawinan antara sidaek parujar dengan mangalabulan menjadi asal mula dari suku batak, Lahirnya siraja batak yang merupakan nenek moyang suku batak 5 Terjadinya dewa tritunggal Pada awalanya Mula Jadi didampingi oleh dua ekor burung layang-layang dan seekor ayam. Kedua burung itu berfungsi sebagai perahu kendaraan Mula Jadi, sedangkan ayam berfungsi sebagai permaisurinya. Mula jadi menjadikan dewa tritunggal dari tiga butir telur permaisurinya. Dan mendiami lapisan ketiga dari alam atas. Mula jadi juga menambahkan tiga perempuan kepada tiga anaknya untuk diperistrikan. Kemudian Mula Jadi menciptakan pohon dunia (Pohon Harihari sundung di langit/ Pohon yang puncaknya sampai ke langit) dan ditanam di Angkola Jula (Tapanuli Selatan) ketika dunia belum dijadikan. Pohon ini dilambangkan sebagai penghubung alam bawah dan alam atas. 6 Tata tertip sosial dasar peraturan sosial Peraturan ini didasarkan pada garis keturunan secara patrilineal.
Ada bermacam macam kelompok sosial yang tidak demikian jelas batas-batasannya. Karena diatur dengan asas yang sama Kelompok pertrama, Kelompok keluarga Kelompok kedua. Kelompok kerabat yang meliputi keturunan dari seorang nenek moyang yang sama. Mereka adalah kelompok yang hidup dalam satu desa atau desa tetangga yang saling tolong meniolong jika diperlukan Kelompok ketiga, Kelompok yang terdiri dari enam atau tujuh angkatan keturunan dari seorang nenek moyang yang sama. Dalam kelompok ini mereka saling mengenal dan pada kesempatan tertentu mereka berkumpul (dalam pesta atau upacara kematian). Kelompok ini dapat mewujudkan satu kesatuan yang lebih besar dari kelompok lain yang dapat terdiri dari 10-15 angkatan. Kelompok keempat, oleh suku batak toba disebut Saompu, yang berasal dari kata “Ompu” Nenek Atau nenek moyang. Dari tiga kelompok yang terakhir, masing-masing terdiri dari 4 sampai 15 angkatan. Kelompok-kelompok tersebut membuat suatu persekutuan Sapanganan (Persekutuan perjamuan Atau persekutuan penyembelihan Korban). 7 HEWAN YANG DI KORBANKAN Kesatuan yang terkecil yang terdiri dari 4 atau 5 angkatan disebut Sapanganan Manuk(Ayam). Kelompok ini hanya menyembelih ayam. Kesatuan yang terdiri dari 6 atau 7 angkatan disebut Sapanganan Babi, (Menyembelih Babi) Kesatuan yang terbesar disebut Sapanganan Lombu (Kerbau). 8 Peraturan Perkawinan Perkawinan didalam suku batak dipakai system perkawinan Eksogami yang artinya perkawinan antara anggota marga sendiri dilarang karena diaanggap menodai darahnya. Berdasarkan tata tertib perkawinan, ada tiga kelompok didalam masyarakat yang memiliki arti menentukan di bidang sosial dan religi yang disebut Dalihan Na Tolu(Tungku Yang Tiga): Dongan Sabatuha, Ialah kerabat patrilineal itu sendiri ( Anggota Marganya Sendiri) Hula-Hula, Pemberi Gadis dan seluruh marganya Boru, Penerima gadis dan seluruh Marganya. Pesta-Pesta Pesta Marga ( Horja), untuk memperingati nenek moyang marga yang sebenarnya. Pesta Suku (Bius), untuk memperingati nenek moyang suku. 9 Tondi: Tondi merupakan manusia didalam manusia , ia memiliki kemauan dan keinginan sendiri. Tondi berasal dari dewa yang tertinggi. Ketika tondi masih berada di dalam alam atas, tondi menerima nasib manusia yang akan didiami dari dewa mula jadi, sesudah itu tondi menjadi manusia baru didalam kandungan ibunya. Nasib yang di pilih oleh tondi tidak dpat diubah lagi. Sesudah manusia mati, tondi-nya meninggalkan manusia dan memulai hidup yang baru lagi. Begu: sesudah manusia mati, ia menjadi begu, begu kurang lebih merupakan keberadaan manusia yang baru. Begu tidak memiliki bentuk penampakan. Begu sangat ditakuti karena suka mengejar ngejar tondi yang masih hidup dan membawanya kea lam bawah (Menjadikan orang itu mati). Kebahagiaan begu tergantung kepada perjamuan para keturunannya yang masih hidup. Serta kedudukannya dapat ditingkatkan jika ketrunannya memujanya dengan baik. KEYAKINAN TENTANG JIWA 10 KEKUATAN ADIKODRATI (SAHALA) Sahala berarti kemuliaan, keagungan dan kedaulatan, Sahala juga terdapat pada benda benda yang penah digunakan oleh para orang tua, nenek moyang. Sahala juga dimiliki oleh para hula-hula terhadap Boru-nya. Oleh karena itu biasanya orang yang sudah menikah lebih menghormati mertuanya dibandingkan dengan orang tuanya. Sahala bukan saja pemberi keberuntungn tetapi juga dapat membawa celaka, semua itu tergantung kepada sikap orang terhadap para pemiliknya. sahala dianggap sebagai kekuatan yang menentukan nasib. sahala dianggap berasal dari mula Jadi. Sehingga ada doa yang dipanjatkan oleh imam kepada kelima dewa yang tertinggi yang isinya memohon sahala dari kelima dewa itu.

RELIGI SUKU MURBA DI NIAS
Banyaknya patung atau menhir yang ada di pulau nias, membuktikan bahwa kepercayaan suku nias kuno adalah penyembah berhala. Kepercayaan suku nias kuno ini sebut pebelegu yang berarti penyembah roh, dan penganut nya di sebut fanömba adu (penyembah berhala). Adu menurut orang nias adalah contoh atau gambaran leluhur yang dibuat dari pahatan kayu atau batu. Mereka meyakini dengan menyembah adu tersebut maka hasil pertanian, perkebunan atau ternak babi mereka akan melimpah. Kepercayaan agama suku nias kuno ini memiliki ragam atau tingkatan seperti kepercayaan kepada dewa pencipta, dewa langit dan dewa bumi, kepercayaan kepada kekuatan gaib dan roh halus, kepercayaan kepada kuasa arwah nenek moyang, kepercayaan kepada kekuatan alam dan kesetiaan kepada pola tradisi. Semua kepercayaan tersebut di buat dalam wujud yang bisa terlihat dam diraba seperti patung, pohon sungai, angin, dan binatang seperti kunang kunang.
Mökö-mökö adalah bahasa Nias yang artinya kunang kunang, masyarakat nias terdahulu meyakini bahwa arwah, kekuatan, dan kharisma roh nenek moyang yang telah meninggal dunia menjelma menjadi  kunang kunang. Jadi apabila ada orang tua yang meninggal dan di kuburkan mereka selalu menancapkan pohon puar diatas kuburan tersebut, tepat di atas posisi mulut dari orang yang meninggal tersebut. Setelah beberapa hari kemudian anak dari orang tua yang meninggal tersebut mengunjungi kuburan orang tua itu, dan apabila ada seekor kunang-kunang yang keluar dari pohon tersebut maka dia akan mengambil atau memasukkan nya kedalam botol, kemudian kunang-kunag tersebut akan di masukan kedalam patung yang telah dibuat untuk di sembah. Dewa-dewa yang terpenting dalam kepercayaan suku nias kuno adalah dewa pencipta yang disebut lowalangi. Dewa tanah atau yang menghuni dunia bawah tanah di sebut lature dano, dan dewa yang melindungi ere atau pemuka agama di sebut silewe nasarata. Setelah masuknya agama di pulau nias, kepercayaan suku nias kuno atau pebelegu berangsur-angsur mulai hilang.
E Ludwig Deningger yang ketika itu menjadi misionaris atau penyebar injil di nias mengkonversi nama lowalangi sebagai Allah. Pemahaman konsep Lowalangi pada saat ini bukan lagi tentang kepercayaan kuno melainkan Allah dalam ajaran agama kristen. Dorkas O. Daeli dalam disertasinya menulis, Lowalangi tidak dipahami sebagai dewa penguasa dunia atas sebagai yang dipahami oleh agam Suku Nias melainkan Lowalangi dipahami sebagai Allah Bapa yang sejati yang diakui sebagai satu-satunya Allah yang benar – Allah Tritunggal: Bapa, Putra dan Roh Kudus, tiga pribadi yang berbeda di dalam hakikat yang satu . Allah dalam Injil atau Firman Allah dimana Injil menerangi budaya dalam hal ini pemahaman Allah memasukipemahaman Lowalangi yang akhirnya diterima konsep bahwa Allah itu adalah Lowalangi yang hidup, yang berkarya dan yang berfirman dalam konteks masyarakat Nias sekarang ini. Sehingga menggunakan istilah Lowalangi yang diingat dikenal dan disembah adalah Allah dalam kekristenan
Nama lowalangi ini sebenarnya adalah nama dari anak dari raja Siraoyang bungsu, dialah yang berhasil memenangi sayembara perebutan tahta ayah mereka dengan kata lain luo wemöna. Dewa Lowalangi saat ini dikenal masyarakat Suku Nias sebagai nama penyebutan nama Allah Tritunggal yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari.

KESIMPULAN
Kita harus ingat suku murbaa bukanlah ahli pikir yang menyusun ajarannya di dalam suatu sistem atau yang memiliki dogma-dogma tentang tokoh-tokoh yang dipertuhankan manusia dan sebagainya. Cara keagamaan yang bermacam-macam, didasarkan pada pengalaman mereka sehari-hari. Itulah sebabnya uraian-uraian itu konkret dan hidup