Thursday, 24 May 2018

Tafsiran Matius 22: 34-40. Hukum yang Terutama

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.LATAR BELAKANG
Teologi Pastoral adalah sebuah cabang ilmu teologis yang berfokus pada perspektif penggembalaan pada semua kegiatan dan fungsi Gereja dan Pendeta, kemudian menarik kesimpulan teologis dari pengamatan yang dilakukan.

Pastoral konseling yang didasarkan pada integrasi antara teologi dan psikologi. Khusunya dalam masalah-masalah khusus. Dalam masalah-masalah khusus memakai suatu pendekatan yang unik yang menjadi tolak ukur untuk membedakan antara konseling Kristen dan sekuler. Pemikiran seseorang yang dipikirkan pada masalah-masalah umum, maka dalam bagian masalah-masalah khusus secara khusus pun menggumulinya yang bersangkut-paut dengan dimensi kehidupan yang biasanya dikategorikan ‘pribadi’.

Dalam penilaian atas mana yang ‘lebih pribadi’ sangat obyektif dan tergantung pada kebiasaan yang berlaku dan penilaian orang yang bersangkutan itu sendiri. Bahkan apa yang termasuk dalam kelompok ‘masalah-masalah umum’ sesungguhnya bisa lebih pribadi sifatnya daripada sampai setiap orang selalu menyembunyikan realitanya dan hanya menampilkan symptom-symptomnya saja ‘secara umum’. Lain halnya dengan apa yang termasuk dalam ‘kelompok masalah-masalah khusus’.

1.2.RUMUSAN MASALAH
Apa saja masalah-masalah khusus yang ada dalam pelayanan pastoral dan solusinya yang dapat menolong masalah tersebut?

1.3.TUJUAN PENULISAN
Mengetahui apa yang menjadi masalah-masalah khusus yang ada dalam pelayanan pastoral serta pertolongan yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut.






BAB II
PEMBAHASAN


2.1. DATING (PACARAN)
2.1.1. Pengertian Pacaran secara Umum
Pacaran merupakan proses perkenalan antara dua insan manusia yang biasanya berada dalam rangkaian tahap pencarian kecocokan menuju kehidupan berkeluarga yang dikenal dengan pernikahan. Tradisi pacaran memiliki variasi dalam pelaksanaannya dan sangat dipengaruhi oleh tradisi individu-individu dalam masyarakat yang terlibat. Dimulai dari proses pendekatan, pengenalan pribadi, hingga akhirnya menjalani hubungan afeksi yang ekslusif. Perbedaan tradisi dalam pacaran, sangat dipengaruhi oleh agama dan kebudayaan yang dianut oleh seseorang.[1]

2.1.2. Pergaulan pra pacaran/Friendship antara muda-mudi
Friendship (persahabatan) adalah kebutuhan yang hakiki dari setiap manusia, sebagai makhluk sosial, manusia sejak lahir membutuhkan sesamanya. Kebutuhan sosial ini berkembang dari phase ke phase dan makin lama makin kompleks. Pada akhirnya, meninggalkan phase adolescence (remaja) manusia harus mampu membedakan antara kebutuhan “sense of belonging” (rasa memiliki) sebagai bagian dari beberapa macam groups (kelompok) dan kebutuhan sense of belonging (rasa memiliki) pada pribadi-pribadi tertentu.

Pada phase inilah seorang remaja menghadapi tantangan untuk menentukan sikap pra pacaran. Tanpa sikap yang jelas dan benar, mereka akan memasuki masa berpacaran dengan kebingungan role (peran) dan ketidakpastian arah bahkan mengisi masa pacaran dengan hal-hal yang merugikan sehingga alhasil mereka tidak mempunyai persiapan pernikahan Kristen yang baik dan dapat dipertanggungjawabkan.

Phase adolescence (tahap masa Remaja) ditandai dengan munculnya kematangan seksual sehingga mulai tertarik dengan lawan jenis sehingga terciptalah tingkah laku seksual yang baru. Akan tetapi, remaja sekarang ini melihat dan menginginkan lawan jenisnya semata-mata sebagai obyek pemuasan seksualnya saja dan tidak pada pribadinya secara utuh.

Phase pra pacaran adalah Phase yang sangat kritis di mana tanpa bimbingan dan pengenalan yang benar akan kebenaran firman Tuhan, remaja akan tergelincir dalam kesalahan-kesalahan yang bisa membawa pengaruh buruk sepanjang umur hidup mereka.

2.1.3. Masalah-masalah dalam Pacaran
a. Seks dalam masa pacaran
Remaja sekarang ini melihat dan menginginkan lawan jenisnya semata-mata sebagai obyek pemuasan seksualnya saja dan tidak pada pribadinya secara utuh. Alkitab menjelaskan bahwa ‘ketidaknormalan’ ini terjadi karena dosa, yaitu rusaknya hubungan dengan Allah sehingga merusak hubungan antara laki-laki dan perempuan.[2]

b. Kekerasan seksual


Pemerkosaan dalam pacaran adalah bentuk kekerasan seksual dalam pacaran. Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Indonesia mengategorikan kekerasan jenis itu sebagai kekerasan dalam pacaran (KDP). KDP secara seksual terjadi ketika seseorang diserang secara seksual oleh orang lain yang dikenal dan dipercaya, seperti teman kencan. Kekerasan seksual dapat juga terjadi saat korban mabuk di suatu pesta, misalnya. Pesta menjadi ajang yang paling mudah bagi pelaku untuk mengincar remaja dengan lebih dahulu memberikan narkoba, kemudian menjadikannya korban kekerasan seksual.

c. Cenderung menjadi pribadi yang rapuh
Anak remaja yang mulai pacaran sejak usia dini lebih banyak mengalami depresi dibanding rekan seusianya yang belum pernah pacaran. Seseorang, yang mengenal cinta lebih dini cenderung menjadi pribadi yang rapuh, sakit-sakitan, merasa tidak aman dan mudah depresi, contohnya remaja, akan memiliki alarm rasa sakit yang lebih tinggi, terutama jika remaja itu menjalin hubungan yang buruk dengan pasangannya.

Mereka punya kecenderungan tingkat rasa sakit yang lebih mendalam. Mereka benar-benar meresapi perasaan buruk seperti sedih atau kesal karena secara psikologi mereka sudah mengenalnya ketika berhubungan dengan pasangannya. Akibat terlalu mendalami perasaan sedih dan emosional itu adalah depresi dan penyakit lainnya. Karena terlalu sedih atau marah, perasan depresi pun bisa muncul. Akibatnya mereka jadi tidak mau makan, kurang tidur atau tidak mau melakukan apa-apa. Dari situlah muncul penyakit-penyakit seperti pusing, sakit perut dan lainnya.

Mereka yang mengenal cinta dan mengalami masalah dalam berhubungan dengan pasangan lebih dulu memiliki pandangan yang lebih serius dan sikap yang lebih tertutup. Hal itu memicu perasaan stres dan penyakit fisik lainnya.

d. Kehamilan dan penularan penyakit menular seksual
Anak yang berpacaran di usia dini mengarah pada kemungkinan yang lebih besar untuk melakukan hubungan seksual. Hal itu sangat memungkinkan terjadinya kehamilan dan penularan penyakit menular seksual (PMS). Menurut The Centers for Disease Control (CDC), kelompok remaja dan dewasa muda (15-24 tahun) adalah kelompok umur yang memiliki risiko paling tinggi untuk tertular PMS.

Bahaya kehamilan pada remaja:
a. Hancurnya masa depan karena tidak bisa melanjutkan sekolah.
b. Remaja wanita yang terlanjur hamil akan mengalami kesulitan selama kehamilan karena jiwa dan fisiknya belum siap.
c. Pasangan pengantin remaja, sebagian besar diakhiri oleh perceraian (umumnya karena terpaksa kawin karena nafsu, bukan karena cinta).
d. Remaja wanita yang berusaha menggugurkan kandungan pada tenaga non medis (dukun bayi, tenaga tradisional) sering mengalami kematian karena mengalami sakit dan pendarahan yang hebat.
e. Menurunkan konsentrasi

Hal ini terjadi jika remaja telah mengakhiri hubungan dengan pacarnya sehingga emosinya menjadi labil, konsentrasi menjadi buyar karena terus memikirkan pacarnya sehingga remaja tersebut tidak dapat menyelesaikan tugas-tugas yang di berikan kepadanya dan mengerjakan ulangan dengan baik sehingga dapat menurunkan prestasi remaja tersebut.[3]

2.1.4. Pacaran menurut pandangan Kristen
Pacaran bagi orang Kristen adalah masa perkenalan antara dua pribadi secara khusus dengan tujuan pernikahan. Disebut secara “khusus”, oleh karena pacaran bukan hanya sekadar masa perkenalan. Ada unsur-unsur tertentu yang seharusnya tidak ada dalam masa perkenalan dan pada umumnya yang harus ada dalam masa pacaran. Dua pribadi yang berlawanan jenis itu mengambil sikap dan keputusan untuk mengkhususkan hubungan antara mereka berdua. Meningkatkan hubungan mereka dalam pengalaman-pengalaman interaksi yang semakin lama semakin pribadi sifatnya, untuk mencapai tujuan bersama yaitu pernikahan.

Konsep kehidupan orang Kristen berbeda dengan orang-orang lain. Kehidupan orang Kristen adalah kehidupan dalam anugerah untuk mengambil bagian dalam rencana Karya keselamatan Allah dalam Tuhan Yesus Kristus. Kehidupan yang bertujuan untuk mengerjakan Pekerjaan baik yang sudah dipersiapkan Allah sebelum dunia dijadikan (Efesus 2:10).

Karena itu bagi orang Kristen, pergaulan, pacaran, dan pernikahan tidak lain daripada proses kematangan hidup untuk semakin “dipersiapkan” memikul dan mengerjakan “pekerjaan baik” yang sudah dipersiapkan Allah. Melalui pergaulan, pacaran dan pernikahan seorang belajar dan berlatih untuk memikul tanggung jawab kehidupan yang semakin lama semakin besar. Konsep seperti ini, jauh berbeda dengan konsep yang ada pada orang-orang non-Kristen.

Konsep Non-Kristen 
Konsep Kristen

Motivasi dari pergaulan, pacaran, pernikahan:
1. Kebutuhan Seks terpenuhi
2. Mengatasi Kesendirian (loneliness)
3. Mengisi waktu dan mencari pengalaman

Motivasi dari pergaulan, pacaran, pernikahan:
1. Proses pertumbuhan dan kematangan
2. Pengenalan akan kebenaran firman Allah

Tujuannya :
a. Untuk mendapatkan “rasa bahagia”
1. Kepuasan Seksual
2. Status sosial
3. Mendapatpenyaluran kebutuhan
4. Mendapat pemenuhan dari “naluri orang tua” (punya anak-anak, dsb)
5. Mendapat pemenuhan dari kebutuhanmaterialistic.
6. Agar dapat mengatasi konflik-konflik batiniah, misalnya menyelasaikan kasuspregnancy (Kehamilan), melarikan diri dari tekanan orangtua, dsb[4] 

Tujuannya:
1. Pengucapan syukur atas anugerah Allah dalam Yesus Kristus.
2. Memikul tanggung jawab kehidupan yang semakin besar. Kebahagiaan dan kepuasan adalah ‘hadiah’ yang disediakan Allah bagi mereka yang mengasihi Allah (Mat. 6:31-32; Rm. 5:6-11) dan bukan tujuan dari pacaran dan pernikahan.

2.2. MARRIAGE (PERNIKAHAN)
2.2.1. Pengertian Pernikahan
Pernikahan adalah upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara norma agama, norma hukum, dan norma sosial. [5]

Orang Kristen percaya bahwa “nilai” dari pernikahan terletak pada “dasar” terjadinya yaitu inisiatif Allah dan bukan inisiatif manusia. Manusia sebagai gambar Allah mempunyai tujuan hidup yang agung oleh karena itu Alkitab menyaksikan bahwa, tidak baik kalau manusia seorang diri saja, Aku akan menjadikan seorang penolong baginya yang sepadan dengan dia (kejadian 2:18) Allahlah yang punya inisiatif atas pernikahan manusia.

2.2.2. Tujuan Pernikahan Kristen

Tujuan dari Pernikahan Kristen adalah:


a. Untuk merasakan kasih-Nya
Kasih adalah syarat utama utnuk dapat melayani Allah dan sesama dengan motivasi yang benar (Yohanes 21:15-17).

b. Untuk mengerjakan misi Allah dibumi
Pernikahan adalah lembaga dibumi. Ikatan pernikahan adalah ikatan yang sementara dalam kehidupan di bumi. Inisiatif Allah untuk membentuk lembaga pernikahan adalah upaya manusia menemukan penolong yang sepadan dalam mengerjakan pekerjaan yang sudah dipersiapkan Allah, yaitu untuk menjadi partner-partner Allah dalam:
a). Melahirkan anak-anak Allah
b). Menaklukan dan mengerjakan bumi (menyelesaikan rencana penciptaan Allah).

2.2.3. Cara mencapai tujuan pernikahan yang dikehendaki Allah
Bagaimana mencapai tujuan pernikahan Kristen seperti yang dikehendaki Allah yaitu :

1. Unequalness suami dan istri
Untuk mencapai tujuan pernikahan Allah tidak menghendaki kekacauan (1 Kor 14:33) melainkan keteraturan (1 Kor 14:40) telah menetapkan satu pola yang unik dalam kehidupan pernikahan, yaitu: suami sebagai kepala keluarga dan istri sebagai penolong yang sepadan (Kej 2:18). Pola yang ditetapkan Allah menempatkan suami sebagai kepala keluarga siapapun dia (orang Kristen atau bukan) dan bagaimanapun kondisi dan kemampuannya. Karena alkitab tidak mengajarkan “hai istri-istri tunduklah kepada suamimu kalau ia baik, bertanggung jawab, dan sebagainya”.

Alkitab mengajarkan prinsip “istri tunduklah kepada suamimu”, prinsip yang didasarkan pada pola tak sama yang ditetapkan Allah. Alasan ini bukanlah Allah lebih menghargai laki-laki tetapi semata-mata karena anugerah dan kehendak-Nya yang agung yang hanya bisa di terima dengan iman dan kepatuhan. Dalam kesatuan suami istri inilah mereka memerintah seisi rumah tangganya.

2. Special roles untuk suami-istri
Dalam konteks pernikahan, laki-laki sebagai suami begitu juga perempuan sebagai istri memegang beberapa roles (peranan) yang unik yang berbeda satu dengan yang lain. Suami dengan perlengkapan identitasnya sebagai laki-laki, mempunyai role sebagai perancang, pemikir dan pengambil keputusan. Sebaliknya sebagai penolong yang sepadan, istri dengan segala keunikan perlengkapan identitasnya sebagai wanita mempunyai role pemeliharan dan perawat. Ialah yang mengisi celah-celah kekurangan suaminya dan menjaga kestabilan rumah tangganya.

3. Perasaannya tidak dimengerti
Sebagai wanita, istri bicara lebih banyak dengan perasaannya. Tidak heran banyak istri yang berbicara dengan bahasa simbolik. Tanpa suami rela untuk melatih kepekaannya dalam berkomunnikasi, maka istri akan merasa dirinya tidak dimengerti. Misalnya: suami harus dapat mengerti keinginan istri yang memakai rok baru dan bertanya, “bagus tidak?”.

a. Ia dibanding-bandingkan dengan wanita lain untuk menyindir kelemahan-kelemahannya.
b. Ia tidak ditolong dengan penuh pengertian untuk mengatasi kelemahan-kelemahannya, misalnya tidak pandai mengatur.

4. Seiman
Alkitab penuh dengan contoh-contoh dalam Perjanjian Lama, di mana anak-anak Tuhan kehilangan kebahagiaan rumah tangganya bahkan mengalami kegagalan mencapai tujuan pernikahannya oleh karena menikah dengan orang-orang yang tidak seiman (Salomo- 1 Raja-raja. 11:3-9). Alasan yang utama, sekali lagi oleh karena tujuan pernikah Kristen berbeda dari non Kristen. Tidak mungkin orang beriman dapat bekerja sama dengan partner yang tidak seiman untuk mencapai tujuan pernikahan seperti yang Allah kehendaki.

Pernikahan dengan yang seiman ( 1 Petrus. 3:7), menyebut “teman pewaris kasih karunia” akan memungkinkan orang mencapai tujuan pernikahan karena :

a. Dalam setiap persoalan aspek kehidupan rumah tangga, firman Tuhan menjadi standar pertimbangan dan tingkah laku (II Tim 3:16),
b. Watak-watak buruk manusiawi yang berdosa akan rela dihancurkan oleh Firman Tuhan, pedang bermata dua yang sanggup menembus sampai hal-hal yang tersembunyi (Ibr. 4:12-13).
c. Cita-cita dan keinginan pribadi diperbaharui oleh firman Tuhan sehingga tujuan kerja, pendidikan anak, pemakaian uang dll; diarahkan untuk menjadi kemuliaan bagi nama-Nya (1 Kor 10:31; Kol 3:17).

5. Monogami
Monogami berasal dari bahasa Yunani Monos yang berarti satu atau sendiri, dan gamos yang berarti pernikahan. Monogami adalah kondisi dimana hanya memiliki satu pasangan (satu suami dan satu istri) pada pernikahan.Kristus mengajarkan bahwa Allah sejka semula menginginkan sebuah hubungan monogami (karya penciptaan manusia). Oleh karena itu orang yang mendua hati yang tidak pernah tenang dalam kehidupannya (Yak 1:8).

6. keakraban dan kesatuan hati suami-istri
Alkitab dengan jelas menyaksikan bahwa memasuki sebuah pernikahan haruslah ditandai dengan dua hal yaitu ‘leaving dan cleving’; yaitu meninggalkan orang tua dan dunia kebujangannyadan bersatu menjadi satu daging dengan istrinya atau suaminya (Kej. 2:24).

Cleaving atau kesatuan daging antara suami istri adalah kehendak Tuhan karena tanpa itu tujuan pernikahan tidak akan tercapai. Kesatuan ini adalah suatu yang agung yang harus dikerjakan oleh suami-istri itu bersama-sama sehingga Alkitab menyebutkan perlunya mereka yang baru menikah memprioritaskannya lebih daripada tugas-tugas yang lain (Ul 24:5). Kesatuan ini msti didemonstrasikan, sehingga suami istri menanggalkan keinginan pribadinya, mencoba untuk saling membahagiakan, memberi apa yang benar-benar dibutuhkan oleh teman hidupnya (1 Kor 7:3-5).

7. Kesucian hidup
Salah satu syarat untuk mencapai tujuan pernikahan Kristen yang dikehendaki Allah adalah menjaga dan memelihara kesucian hidupnya. Alkitab dengan jelas sekali menyaksikan bahwa perzinahan bukan hanya hubungan sexuil dengan orang yang bukan istri atau suaminya. Fantasi dan angan-angan sexuil juga termasuk perzinahan. (Mat 5:27-28). Oleh karena itu hal mencemarkan diri jelas bukan hanya hal-hal fisik tetapi emotional dan spiritual yang menyangkut seluruh totalitas hidup manusia.

8. Pertumbuhan rohani dan kematangan pribadi
Tujuan pernikahan tidak mungkin dapat dicapai oleh suami istri yang tidak tumbuh dalam kehidupan rohaninya dan yang tidak matang pribadinya. Untuk itu tanda-tanda pertumbuhan yang diterangkan dalam bagian Dating juga berlaku disini yaitu :

a. Subjective love harus diubah menjadi objective love (mengasihi sesuai dengan apa yang betul-betul dibutuhkan teman hidupnya.
b. Onvius love harus diubah menjadi jealous love (kasih yang menuntut apa yang memang menjadi haknya.
c. Romantic love harus diubah menjadi realistic love (kasih sebagaimana adanya, menjadi tua, sakit pun tetap dikasihi.
d. Activity center harus diubah menjadi dialog center (yang mempertemukan suami-istri bukan pekerjaan, tapi dialog)

Love eros, storge dan philia harus disatukan menjadi love agape. Dan, traditional religion harus diubah menjadi living faith (Iman yang hidup). [6]

2.3.FAMILY PROBLEMS (MASALAH-MASALAH DALAM RUMAH TANGGA)
Keluarga mempunyi fungsi yang tidak hanya terbatas selaku keturunan. Dalam bidang pendididkan keluarga merupakan pendidikan utama, karena segala pengetahuan dan kecerdasan intelektual manusia diperoleh pertama-tama dari orang tua dan anggota keluarga sendiri. Tetapi anggota-anggota keluarga mengalami berbagai permasalahan dalam keluarga, yaitu tidak lagi menempati tempat yang berarti, karena tidak lagi dirasakan ikatan saling membutuhkan. Akhirnya fungsi keluarga menjadi sangat berkurang dan arti keluarga serta ikatannya seolah-oleh mengalami suatu keguncangan.[7]

2.3.1. GAP ANTARA ORANGTUA DAN ANAK
Gap atau jurang yang memisahkan antara orang tua dan anak adalah masalah dasar dari semua masalah hubungan orang tua dan anak. Dan gap terjadi oleh karena beberapa sebab :

a. Pada dasarnya setiap anak lahir dalam dosa
Dosa membuat anak selalu cenderung menangkap, menafsirkan dan memberi reaksi yang negatif atas pendidikan orang tuanya. Kehadiran dosa ditandai dengan pemberontakan terhadap hal-hal yang baik. Gap antara orang tua dan anak akan tetap ada jikalau aspek-aspek kehidupan yang menjadi alat atau sarana dosa tidak ditaklukkan dan dilatih untuk menjadi alat kebenaran.

b. Pada dasarnya setiap orang tua pun berdosa
Dosa membuat orang tua selalu cenderung untuk berkomunikasi dan mendidik anak-anaknya sekehendak hatinya sendiri. Sehingga maksud baik dari pendidikan tidak menghasilkan hal-hal yang positif melainkan bahkan memperlebar gap antara orang tua dan anak. Dan itu biasanya terjadi oleh karena :

1. Orang tua tidak dapat membedakan antara “senang anak” dan “sayang anak”
2. Orang tua mendisiplinkan anak-anaknya sebagai pelampiasan nafsu.
3. Orang tua mendisiplin anak demi untuk kepentingan dirinya sendiri.
4. Orang tua mendisiplin anak sebagai ekspresi dari kebencian terhadap dirinya sendiri.
5. Orang tua yang menolak tanggung jawab mendisiplin anaknya, karena orang tua takut anaknya akan menjauh dari mereka.

c. Kurangnya pengetahuan orang tua
Gap yang memisahkan orang tua dan anak sering kali timbul sebagai akibat dari kekurangan orang tua dalam pengetahuan tentang prinsip-prinsip pendidikan anak. Sehingga banyak orang tua tanpa sengaja telah melakukan kesalahan-kesalahan yang mungkin menjadi benih dari gap yang timbul dari hubungan dengan anaknya.

d. Perebutan kekuasaan yang tidak diselesaikan dengan baik
Yaitu, setiap orang yang ngin mengutamakan kehendak sendiri dalam setiap kompetisi. Sehingga kehendak pribadi ini sering tidak disadari dan tidak diekspresikan dengan terang-terangan.


2.3.2. Apa yang dapat dilakukan untuk mengatasi gap ?

a. Orang tua harus memperhatikan hal-hal yang harus dihindari dalam memberikan hukuman yang menjadi penyebab dari gap dengan anak-anaknya
b. Mengerti dengan jelas “apa” itu disiplin pada dirinya
c. Bagaimana pun baiknya disiplin pendidikan Kristen tetap akan sia-sia jikalau kedua orang tua tidak sehati.

2.3.3 Watak-watak buruk dan Korbannya
Sebagian besar dari masalah hidup manusia bersangkut paut dengan watak. Ketidak harmonisan rumah tangga bahkan kehancurannya hampir selalu disebabkan oleh watak-watak buruk yang menguasai pikiran dan mengontrol tingkah laku manusia.

a. Si penganiaya dan korbannya
Yang lebih penting disini adalah nasehat firman Tuhan dengan seluruh ajaran firman Tuhan tentang kepatuhan istri pada suami, yaitu :

1. Bagaimana membimbing suami atau si penganiaya ?
Pembimbingan pada si suami mempunyai beberapa target yang tidak boleh dilupakan yaitu :

a. Pertama, dia untuk dapat melihat realita wataknya yang buruk secara lengkap sebagia dosa yang betul-betul serius. Dalam hal ini konselor, kita harus waspada bahwa “pertobatan” tidak akan betul-betul terjadi jikalau proses kesadaran akan kesalahan tidak sampai pada titik optimum dimana klien menyadari akan dosanya dan membutuhkan pengampunan dan penebusan darah Kristus.
b. Kedua, menolong dia menyadari “akar” dari tingkah lakunya yang buruk dan betul-betul diri untuk mengatasinya.

2. Bagaimana membimbing si istri yang dianiaya ?
Sama seperti pembimbingan pada suami begitu juga pembimbingan pada istri mempunyai beberapa target yang tidak boleh diabaikan, seperti :

a. Sebagai korban penganiayaan dari orang yang dikasihinya, ia perlu mendapat empati dan perhatian khusus. Konselor harus dapat menunjukkan bahwa dirinya tidak ragu-ragu bahkan percaya pada apa yang diceritakan.
b. Konselor mengajak dia untuk berdoa. Suatu doa dimana konselor menempatkan diri pada posisi klien, menolong dia untuk mengekspresikan perasaannya dan pikirannya secara benar kepada Tuhan. Konselor harus mengerti bahwa klien dalam keadaan bingung, putus asa bahkan tidak dapat melihat kasih Tuhan.
c. Konselor coba mengenali keseriusan persoalannya.
d. Dalam pembimbingan konselor mengarahkan pada tanggung jawab si klien sendiri. Biarlah dia sendiri yang memutuskan apa yang harus dilakukan.
e. Konselor menganjurkan untuk ke dokter karena biasanya penganiayaan oleh suami dikenakan pada bagian-bagian yang tidak nampak dari luar.

b. Si tanpa perasaan dan pengemis cinta
Dalam keluarga sering kali terjadi perbedaan pendapat diantara keduanya. Sehingga, dalam hal ini didapati bahwa salah satu pasangan berpendapat bahwa perasaan adalah standar dari pikirannya dan tingkah lakunya. Padahal realitanya perasaan seseorang sangat relatif, tergantung dari pikiran, pengalaman bahkan pada dasarnya naik turunnya perasaan sering kali tergantung pada naluri saja. Dan dalam hal pengemis cinta, sering kali dalam keluarga salah satu pasangan menganggap menikah adalah hal menyerahkan segenap nasib hidup dalam pernikahan tersebut dan pasangannya. Sehingga, suatu sikap penurut yang keliru menunjukkan kecenderungan pada penyembahan berhala.

c. Si pembuat kerusakan fatal
Dalam keluarga sering kali terjadi permasalahan yang bersumber dari diri sendiri. Tetapi dalam hal ini, diri sendiri sering kali tidak peka terhadap kegagalan dan penolakan. Sehingga mengakibatkan reaksi emosi yang arahnya menghancurkan. Yang berdampak keruskan terhadap dirinya sendiri.

1. Apa penyebab dari watak buruk ini ?

a. Pengalaman masa kecil dengan orangtua yang juga merusak diri sendiri.
b. Pengalaman dengan perbuatan dosa dan pengalaman kesalahan.
2. Bagaimana menolong mengatasi persoalan ini ?

a. Menolong klien membedakan dengan jelas antara kesalahan yang objektif dengan kesalahan psikologis.

b. Menolong klien untuk mengenali inner mekanismenya, yang mendorong dirinya untuk melakukan tingkah laku yang merusak diri sendiri.

c. Perlu mengikut sertakan segenap keluarga klien.[8]

2.3.4. Keluarga yang dimaksudkan Allah
Keluarga merupakan gagasan Allah. Ia menentukannya. Ia mempersatukan laki-laki dan perempuan yang pertama dalam pernikahan. Yang pada dasarnya hubungan mereka baik sehingga Allah memberkatinya. Dan hubungan itu diamksudkan untuk anak-anak yang merupakan buahnya. Tetapi didalam keluarga terdapat berbagai permasalahanyang menyebabkan kehancuran, yaitu:
a. Suatu keluarga yang membangun diatas satu falsafa hidup yang menolak Yesus Kristus dan firman-Nya.
b. Suatu keluarga yang mencampur kebijaksanaan dunia dengan kebijaksanaan Kristus.
c. Suatu keluarga yang mencoba memasukan norma-norma dan prisnsip-prinsip Allah kedalam kehidupan keluarganNya, tetapi mengabaikan Allah. Tetapi tidak semua keluarga mengalami suatu hambatan dalam permasalahan. Sehingga unsur yang terpenting dalam keluarga yang berhasil, bukan apa yang dibawah kedalamnya tetapi siapa yang dibawah kedalamnya.

2.3.5. Tugas seorang istri dan ibu
a. Ketundukan adalah suatu hak istimewa
Panggilan seorang istri dan ibu adalah suatu panggilan yang tertinggi dan terhormat. Panggilan itu sama sekali tidak negatif atau rendah. Karena Tuhan menciptakan perempuan memiliki tugas dan fungsi yang sama seperti halnya laki-laki, yaitu masing-masing saling membutuhkan. Sehingga perempuan memiliki tugas dalam keluaga, yaitu menentukan kepribadian rumah tangga, menciptakan suasananya dan menentukan keharmonisannya.

b. Ketundukan adalah menegakkan wewenang
Seorang perempuan merupakan pasangan dari laki-laki dalam keluarga yang memiliki fungsi memberikan segala keperluan laki-laki yang merupakan suaminya yang mengartikan perempuan itu mengambil sikap ketundukan yang benar terhadap suaminya, maka ia menegakkan kedudukannya sebagai orang yang berwewenang terhadap anak-anaknya.

c. Ketundukan adalah pelayanan
Motif utama untuk setiap anggota keluarga adalah melayani anggota keluarga dengan kasih. Seorang istri melayani keluarganya dengan tuduk kepada suaminya. Ketundukan disini terungkap dalam cara-cara yang akan membawa kebaikan terbesar bagi mereka yang dilayaninya.

2.3.6. Tugas seorang suami dan ayah
a. Kepemimpinan adalah ketundukan
Dalam susunan Allah, laki-laki ditempatkan dalam posisi kepemimpinan dalam keluarga. Akan tetapi, laki-laki harus menyadari juga bahwa bukan saja isterinya saja yang dipanggil untuk tunduk. Demikian juga suami harus berada di bawah Kristus dan harus tunduk kepadanya. Laki-laki tidak dapat terlepas dari prinsip-prinsip dan tanggung jawab ketundukan karena ia adalah kepemimpinan keluarganya. Karena apabila suami menemukan tempat di bawah Kristus, ia akan mengalami kedamaian, keyakinan dan keberanian untuk memimpin, bahkan dalam saat-saat yang sukar.

b. Kepemimpinan adalah kepelayanan
Dengan memberikan kepemimpinan merupakan ciri seorang laki-laki untuk melayani keluarganya. Cara lain seorang laki-laki melayani keluarganya adalah dengan menyediakan kebutuhan mereka. Sehingga hubungan antara hidup berkeluarga dan panggilan rohani sangat erat. Yaitu perasaan dan tanggung jawab dapat silang menyilang dalam hal-hal yang tidak terduga.

Jadi dalam hidup berkeluarga Melayani bersama-sama merupakan tugas tanggung jawab orang tua sebagai satu kesatuan. Karena banyak rumah tangga yang pecah karena tidak adanya kesatuan sehingga pengalaman kesatuan tujuan yang dasar dalam membangun suatu keluarga adalah lebih penting dari teknik atau formula apapun untuk membina keluarga yang bahagia. Karena anak-anak yang bahagia dan taat bukanlah hasil usaha orang tua yang sudah menerapkan suatu teknik istimewa, tetapi merupakan hasil orang tua yang mula-mula membangun hubungan yang benar dengan Allah dan pasangannya.

2.4. STRES DAN DEPRESI
2.4.4. Stres
Stres adalah suatu tekanan dari luar tubuh yang menyebabkan kita merasa tegang. Stres memang tidak bisa kita hindari karena merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari dan mempengaruhi setiap orang. Kemampuan seseorang mengatasi stress akan berdampak baik bagi kesehatan dan kebahagiaannya. Tetapi, kalau kita membiarkan stress menumpuk, akan menghasilkan ketegangan cukup serius sehingga menggangu kegiatan rutin sehari-hari. Banyak orang mengunjungi dokter dengan keluhan fisik, ternyata sangat berhubungan dengan masalah stress, mental, dan emosi.

Salah satu penyebab stress adalah adanya perubahan terlalu drastis. Misalnya, kehilangan seseorang yang sangat dicintai. Ini bisa karena kematian, pindah, atau perceraian. Bisa juga karena perubahan pekerjaan, masalah dalam pekerjaan, atau terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).

Penyebab lainnya adalah karena kekhawatiran, yaitu perasaan cemas dan “tegang”. Ini bisa karena masalah keuangan, penyakit, kecelakaan, dan memasuki masa pension. Khawatir juga bisa karena ketakutan yang tidak jelas – bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi meski tidak ada ancaman yang nyata. Khawatir bisa dihasilkan dari menahan perasaan yang tidak bisa kita kuasai atau mengerti; atau mungkin timbul karena konflik antara apa yang kita suka lakukan dana pa yang kita pikir seharusnya kita lakukan. Tanda paling umum ketika seseorang khawatir adalah gelisah (nervous), menggil, pusing-pusing, jantung berdebar, susah bernafas, tidak rileks, dan kebiasaan makan yang tidak yang tidak normal.

Setiap orang tentu mempunyai rasa khawatir. Untuk kadar tertentu, ini biasa dan dapat menolong seseorang menanggapi masalah tau sesuatu yang mengacamnya. Tetapi, kekhawatiran yang berkepanjangan bisa mengarah pada masalah yang serius – misalnya,, menderita tekanan darah tinggi, serangan jantung dan stroke, serta tidak mampu menikmati hidup.

2.4.5. Depresi
Depresi adalah perasaan sedih atau kecewa, yang membawa seseorang menjadi apatis dan menarik diri untuk alasan-alasan tertentu. Ini adalah akibat dari kekhawatiran dan ketegangan yang berlebihan. Tanda-tanda umum dari depresi adalah kelelahan (fatique) karena susah tidur, tidak bisa berkonsentrasi, gelisah, dan bosan. Selain itu, si penderita menjadi tidak tertarik pada makanan, seks, atau kehidupan pada umumnya. Penderita juga merasa tidak berharga dan tak berpengharapan.

Depresi yang berkepanjangan bisa menyebabkan gejala-gejala fisik, seperti: kepala pusing, kehilangan berat badan, cenderung mengonsumsi obat-obatan, dan minum-minuman keras, atau alkoholisme.

Beberapa depresi termasuk hal normal, sebagai suatu reaksi dari kenyataan yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Tetapi, depresi yang berkepanjangan sangat berbahaya. Dengan perasaan tak berguna dan sikap menutup diri yang berkepanjangan bisa membuat si penderita mengambil jalan pintas dengan bunuh diri. Karena itu apa yang dapat dilakukan? Kita bisa melakukan banyak hal, seperti: berobat ke dokter, berolahraga secara rutin, membicarakan masalah kita dengan orang lain, merencanakan pekerjaan dengan baik, beristirahat yang cukup, menjadikan diri realistis, belajar rileks, dan menghindari stress. Ada tiga jenis besar depresi yang bisa disebutkan sebagai berikut:

1. Major depressive disorder
Penderita depresi jenis ini memperlihatkan perasaan sedih terus-menerus, tidak berpengharapan, merasa terganggu, dan tidak merasakan kenikmatan. Ini bisa terjadi karena perubahan pola makan dan tidur, atau karena sulit berkonsentrasi. Mereka sering merasa bersalah dan tak berharga untuk dikasihi. Beberapa orang yang sangat depresi mungkin mendengar suara-suara yang menegaskan perasaan-perasaan tak berharga mereka. Mereka mulai percaya hal jelek mengenai diri mereka dan orang lain.

Hal ini menambah perasaan tidak bahagia. Beberapa diantara mereka berpikir untuk hidup sekarat atau menghukum diri sendiri. Ada juga yang bunuh diri. Jenis depresi ini biasanya hilang dalam beberapa bulan, terutama dengan terapi yang tepat.

2. Dysthymia atau Depressive Neurosis
Jenis depresi ini bisa berlangsung sampai setahun. Penderita bisa dikacaukan dengan bentuk sakit mental atau fisik lainnya, yang menghasilkan stres kronis.

3. Bipolar Depression, Manic Depressive Illness
Jenis depresi ini melibatkan siklus dari tinggi sampai rendah. Kadang-kadang ada beberapa gejala dari gangguan major depressive. Pada saat yang lain, ada juga yang disebut dengan mental excitement (mania). Ada yang membutuhkan sedikit sekali tidur, menambah aktivitas sosial, meningkatkan kegiatan seksual, dan kegiatan fisik lainnya.

Penanganan depresi dilakukan dalam bentuk terapi. Bisa menggunakan salah satu terapi atau gabungan dari beberapa terapi. Ini bergantung pada diagnosis dan kondisi penderita. Beberapa bentuk terapi adalah seperti berikut ini:


1. Obat
Obat yang digunakan adalah obat golongan antidepressant dan mood stabilizers. Obat antidepressant kelihatannya untuk mengoreksi ketidak seimbangan kimiawi di dalam otak yang menghasilkan semacam bentuk depresi. Mood stabilizers dapat mencegah depresi agar tidak kembali. Tetapi, meski si pederita bisa pulih, kedua jenis obat ini bekerja lambat dan bisa mengakibatkan efek samping.


2. Electro-Convulsive Therapy (ECT)
Terapi ini digunakan untuk mengurangi depresi yang berlebihan. Tidak diketahui dengan pasti penanganan dengan cara ini bisa mengurangi depresi penderita. Efek samping yang muncul, antara lain: disorientasi, kepala pusing dan sakit, serta kejang otot. Ada juga yang mengelu karena kehilangan memori untuk waktu yang lama. Jika ECT direkomendasikan, sebaiknya ada “second opinion”.


3. Psyhotherapy (Talk Therapy)
Tetapi jenis ini dapat mengikut-sertakan pasangan dan anggota keluarga yang lain. Dalam terapi ini ada lima terapi dasar yang sering digunakan, yaitu:

a. Brief Supportive. Yang menjadi fokus terapi ini adalah berbagai masalah dengan orang lain,yang dihadapi sekarang ini.

b. Prychodynamic Psychotherapy. Terapi ini menekankan pada masalah pribadi (internal) yang muncul dan yang berakhir dalam beberapa bulan terakhir.

c. Behavioral therapy. Terapi ini mengajarkan cara baru menangapi masalah.

d. Cognitive therapy. Terapi ini mengatasi masalah kronis dan sikap-sikap negatif.

e. Self-help groups. Terapi ini bisa menjadi penopang yang berharga untuk orang-orang depresi, termasuk keluarga dan teman mereka.

Depresi dapat disebabkan oleh satu atau beberapa faktor. Misalnya, anak-anak dari saudara laki atau perempuan penderita depresi lebih mungkin menderita depresi pada waktu dan keadaan tertentu. Anak-anak yang hidup dengan orang yang depresi pun akan belajar cara yang salah dalam menangani stress. Untuk ini, peranan orang tua sangat diperlukan.

2.5. HOMOSEKSUALITAS
Di negara-negara maju, pembicaraan tentang homoseksualitas bukan lagi masalah besar. Perlu juga kita ketahui bahwa homoseksual itu bukanlah problem seksual, tetapi problem identitas. Kalaupun ada masalah seksual, itu hanya kecil sekali. Ada homoseksualitas itu disebabkan oleh psikis atau salah asuh, maka tugas konselor pastoral membawa orang itu kembali kepada heteroseksual. Dalam hal ini biasanya konselor menggunakan terapi yang disebut “conversion therapy”.

Ada beberapa isu yang perlu digumuli oleh para pelayan pastoral ketika mereka terlibat dalam pelayanan dan konseling dengan seorang homoseksual.

Pertama, seberapa jauh konseling pastoral dipengaruhi oleh keputusan dari profesi menolong lainnya, seperti psikiater dan psikolog? Hampir setengah abad para pelayan pastoral menelan, meniru, dan menerima pendapat-pendapat psikologis sekuler. Barangkali sudah tiba saatnya pelayan pastoral memiliki pendapat sendiri, sesuai dengan tradisi konseling pastoral – yang memiliki kekayaan sumber teologis dan mampu memberikan kesembuhan bagi mereka yang bermasalah.

Kedua, pelayan pastoral perlu lebih responsive dan proaktif dalam menghadapi seorang homoseksual. Bukan untuk dihukum atau di kutuki, melainkan dengan penuh empati, pelayan pastoral menerima mereka sebagaimana adanya dan menolong mereka untuk keluar dari pergumulan yang mereka hadapi.

Ketiga, pelayan pastoral tidak boleh menganggap enteng pendapat dan temuan para praktisi kesehatan mental sekuler. Sebab, keputusan pastoral yang baik dan bersifat holistic hanya bisa diperoleh kalau pelayan atau konselor pastoral itu mampu menyerap pendapat dan temuan ilmu sosial yang lain. Diagnosis yang baik terjadi kalau pelayan pastoral itu mampu untuk terbuka, rendah hati, dan tidak bersikap menghakimi. [10]




BAB III
PENUTUP

3.1. KESIMPULAN :


Dari materi yang kelompok kami paparkan, dapat diambil kesimpulan bahwa kehidupan setiap manusia tidak pernah terlepas dari masalah. Dalam percakapan pastoral seorang konselor menghadapi konseli yang mengalami masalah baik secara umum terlebih lagi masalah lebih khusus lagi (masalah-masalah Khusus). Materi kami di atas dengan jelas menyebutkan masalah- khusus Dating (pacaran), marriage (pernikahan), family problems (masalah-masalah dalam kehidupan keluarga), Depresi atau Stres, dan masalah yang menjadi Tranding Topic di saat ini yaitu Homoseksualitas.


Seorang konselor berperan penting dalam melayani semua konseli yang menghadapi masalah-masalah khusus ini, oleh karena itu seorang konselor juga harus memahami dengan benar apa yang menjadi penyebab masalah itu terjadi, agar supaya konselor dapat memberi pemahaman dan rasa empati kepada konseli. Selain itu, tidak dapat dipungkiri ketika melakukan percakapan pastoral masalah-masalah yang dihadapi konseli juga akan menghambat jalannya percakapan, jika konselor tidak bisa memahami dengan benar cara mengatasi masalah-masalah tersebut.


3.2. SARAN :


Mengenai materi kelompok kami tentang masalah-masalah khusus dalam konseling pastoral. Materi ini sangat penting bagi kita sebagai konselor untuk dipelajari dan dipahami dengan sebaik mungkin, agar kita mendapat pengetahuan karena kita ini akan membimbing orang yang menjadi klien kita, yang sudah tentu menghadapi banyak masalah dalam kehidupan mereka, dengan begitu kita juga mampu untuk menjadi konselor-konselor yang profesional.


DAFTAR PUSTAKA


Krisetya Mesach, Bela Rasa Yang dibagirasakan, Jakarta: Duta Ministri, 2015. 


Roy Lessin, Disiplin Keluarga, Jakatra: Gandum Mas, 2002.


Susabda, Yakub B, Pastoral Konseling jilid 2, Malang: Gandum Mas, 2015.


Singgi Gunarsa, Psikologi untuk Keluarga, Jakarta: Libri, 2015.






REFRENSI

https://id.wikipedia.org/wiki/Pernikahan, diakses pada hari jumat, 20 Oktober 2017 jam 14.36 WITA.


https://id.wikipedia.org/wiki/Pacaran, diakses pada hari Selasa, 24 Oktober 2017, Pukul 13:05 WITA.


http://shulun11.blogspot.co.id/2015/01/makalah-pengaruh-pacaran-di-kalangan.html , diakses pada hari Selasa, 24 Oktober 2017, Pukul 14:40 WITA.

[1] https://id.wikipedia.org/wiki/Pacaran, diakses pada hari Selasa, 24 Oktober 2017, Pukul 13:05 WITA.


[2] Yakub B. Susabda, Pastoral Konseling jilid 2 ( Malang: Gandum Mas, 2015 ), 117.


[3] http://shulun11.blogspot.co.id/2015/01/makalah-pengaruh-pacaran-di-kalangan.html , diakses pada hari Selasa, 24 Oktober 2017, Pukul 14:40 WITA.


[4] Yakub B. Susabda, Pastoral Konseling jilid 2 ( Malang: Gandum Mas, 2015 ), 117.


[5] https://id.wikipedia.org/wiki/Pernikahan, diakses pada hari jumat, 20 Oktober 2017 jam 14.36 WITA.


[6]Yakub B. Susabda, Pastoral Konseling jilid 2 ( Malang: Gandum Mas, 2015 ), 145-176.


[7] Gunarsa Singgi, Psikologi untuk Keluarga, (Jakarta: Libri, 2015),1-3.


[8] Yakub B. Susabda, Pastoral Konseling jilid 2 ( Malang: Gandum Mas, 2015 ), 177-198.


[9] Lessin Roy, Disiplin Keluarga, (Jakatra: Gandum Mas, 2002),13-51.


[10] Mesach Krisetya, Bela Rasa Yang dibagirasakan, (Jakarta: Duta Ministri, 2015), 86-99.