BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Masalah
Anak
adalah generasi penerus bangsa yang memiliki peran strategis, ciri-ciri,serta
sifat-sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada
masa depan. Oleh karena itu potensi anak perlu dikembangkan semaksimal mungkin,
serta mereka perlu dilindungi dari
berbagai tindak kekerasan dan diskriminasi agar hak-hak anak dapat terjamin dan terpenuhi sehingga
mereka dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal
sesuai dengan kemampuannya demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas dan
berakhlak mulia.
Anak
perlu dilindungi karena mereka sangat rentan serta potensial menjadi korban
kekerasan dan kesewenangan orang dewasa, perlindungan diberikan agar mereka
dapat menjadi anak Indonesia yang sehat dan sejahtera bahkan mereka perlu
diberikan perlindungan khusus agar terhindar dari berbagai tindakan yang
menyimpang,
Perkembangan menunjukkan suatu proses
tertentu, yaitu suatu proses yang menuju ke depan dan tidak dapat di ulang
kembali. Anak-anak di usianya masing-masing merasa senang dengan perkembangan
yang dialaminya, baik dalam dirinya maupun di lingkungannya. Dalam hal ini
anak-anak yang berusia 2-5 tahun yaitu masa balita, masa prasekolah. Pada masa
ini pertumbuhan fisik berjalan terus. Selain perkembangan fisik yang boleh
dilihat, perkembangan gerakan, kemampuan berbicara bertambah maju begitu juga
dengan perbendaharaan kata bertambah banyak.
Dizaman Era
globalisasi ini, kita bisa melihat adanya perubahan yang signifikan dan telah
terjadi degredasi moral dan sosial budaya yang cenderung kepada pola perilaku
yang menyimpang salah satunya terjadi penyimpangan seksual. Penyimpangan seksual adalah aktivitas seksual yang
ditempuh seseorang untuk mendapatkan kenikmatan seksual dengan tidak
sewajarnya. Biasanya, cara yang digunakan oleh orang tersebut adalah
menggunakan obyek seks yang tidak wajar.
Penyebab terjadinya
kelainan ini bersifat psikologis atau kejiwaan, seperti pengalaman sewaktu
kecil, dari lingkungan pergaulan, dan faktor genetik. Salah satu penyimpangan
seksual yang sering terjadi ialah Pedofilia. Pedofilia
adalah kelainan seksual berupa hasrat ataupun
fantasi impuls seksual yang dilakukan oleh pria
dewasa dan melibatkan anak perempuan di bawah umur.
Salah
satu contoh kasus terjadinya penyimpangan Pedofilia yaitu di Jakarta
Internasional School ( JIS) salah satu pelaku ialah Guru bidang studi dengan
melakukan penyimpangan kepada muridnya sendiri. Sehingga timbulnya sifat protectivenya orang tua terhadap
sang anak dan kewaspadaan, terlebih ketidakpercayaan terhadap pihak sekolah dikarenakan trauma
terhadap penyimpangan seksual, bahkan meskipun keamanan sekolah sudah sangat
diperketat, tetap saja kasus ini berulang kali terjadi. Ada juga contoh kasus
penyimpangan pedofilia yang dilakukan oleh seorang ayah terhadap anaknya sendiri
yang masih berusia 10 tahun dan penyimpangan seksual ini juga saat peneliti
melakukan penelitian, ada juga yang melakukan penyimpangan seksual di Kecamatan
Tikala, pelaku ada yang Kristen dan Non Kristen.
Segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat
seksual terhadap lawan jenis maupun sesama jenis yang dilakukan diluar hubungan
pernikahan bertentangan dengan norma-norma dan etika, yang tidak bisa diterima
secara umum. Segala sesuatu itu tidak akan terjadi jika tidak ada sebabnya
seperti pepatah mengatakan “Tak akan ada asap jika tidak ada api”. Mereka
perlu dilindungi dari berbagai tindak
kekerasan, diskriminasi, penyimpangan seksual, agar
hak-hak anak dapat terjamin dan
terpenuhi sehingga mereka dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi
secara optimal sesuai dengan kemampuannya demi terwujudnya anak Indonesia yang
berkualitas dan berakhlak mulia. Sehubungan dengan adanya
penyimpangan pedofilia maka dalam penelitian ini
penulis ingin meneliti lebih lanjut dan memberi judul Tinjauan Etika Kristen terhadap Kasus Pedofilia di ….
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis
mengidentifikasikan masalah yang ada sebagai berikut:
a. Perkembangan zaman
yang semakin moderen memberikan berbagai macam kemudahan untuk melakukan
hubungan seksual. Sehingga berdampak pada Anak yang belum cukup umur.
b. Dampak dari Pedofilia
berpengaruh pada Psikologi Anak.
c. Kurangnya pengawasan
dari orang tua terhadap anak sehingga terjadinya kesempatan bagi penderita
Pedofilia.
d. Kurangnya peran
Pastoral Konseling terhadap Pedofilia.
1.3 Perumusan Masalah
a. Bagaimana
perkembangan zaman memberikan kemudahan bagi Pedofilia untuk melakukan hubungan
seksual ?
b. Bagaimana dampak
negative dari Pedofilia terhadap psikologi Anak ?
c. Bagaimana peran
orangtua terhadap anak dalam meningkatkan kesadaran dan pengawasan dengan tidak
terjadi pelecehan seksual ?
d. Bagaimana peran
Pastoral Konseling terhadap Pedofilia ?
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan dari pnelitian ini sebagai berikut:
a. Untuk menganalisis
berbagai macam cara kemudahan yang dilakukan penderita pedofilia terhadap anak.
b. Untuk mengetahui
dampak negative dari penderita Pedofilia terhaap psikologi anak.
c. Untuk menganalisis
peran orangtua dalam meningkatkan pengawasan terhadap anak.
d. Untuk menganalisis
peran pastoral konseling terhadap penderita Pedofilia.
1.5. Manfaat Penelitian
Manfaat Teoritis
Secara Teoritis
diharapkan melalui penelitian ini dapat menghasilkan Idea atau temuan yang
dapat memberikan kontribusi bagi upaya pengembangan keilmuan Pastoral Konseling
terutama yang berkaitan dengan masalah Anak.
Manfaat
Praktis
Secara praktis,
manfaat dari penelitian ini adalah :
a. Bagi Peneliti
Memberikan data yang
tepat mengenai bagaimana peran Pastoral Konseling dalam meningkatkan kesadaran
bagi penderita Pedofilia.
b. Bagi Orangtua
Memberikan masukan
Positif tentang meningkatkan kesadaran yang harus dilakukan oleh orangtua
terhadap Anak.
c. Bagi Gereja
Memberikan masukan
Positif bagi Gereja, GMIM khususnya untuk terus mempedulikan perkembangan anak
dan penderita Pedofilia sehingga lambat laun akan berkuranya objek (anak) yang
menjadi korban.
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1.Apa itu sebenarnya Pedofilia?
Menurut dokter spesialis kejiwaan dari Rumah
Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, Teddy Hidayat, ada tiga jenis
Pedofilia yaitu :
1.
Immature Pedophiles, pengidap Immature Pedophiles cenderung melakukan
pendekatan kepada targetnya yang masih anak-anak di bawah umur. Misalnya dengan
cara mengiming-imingi korban dengan hal-hal menyenangkan seperti permen, uang
jajan atau permainan.
2.
Regressed Pedophiles. Pemilik kelainan seksual ini biasanya memiliki istri sebagai kedok
penyimpangan orientasi seksualnya. Tak jarang pasangan ini memiliki masalah
seksual dalam rumah tangga mereka. Menurut beliau, dalam beroperasi, tipe ini
langsung main paksa terhadap korbannya, tanpa ada iming-iming tertentu.
3.
Agressive Pedophiles. Orang tipe ini rata-rata memiliki perilaku anti-sosial di
lingkungannya. Tipe ini biasanya memiliki keinginan untuk menyerang korbannya,
bahkan tidak jarang berpotensi membunuh korbannya setelah dinikmati.[1]
3.
Penyebab Terjadinya Pedofilia
Penderita Pedofilia kebanyakan adalah
yang memiliki dua kemungkinan: pertama, dulunya adalah juga korban pencabulan
anak dan/atau kedua, gemar mencari variasi dalam usaha mendapatkan kepuasan
seksual, mungkin karena bosan dengan partner seksnya atau malah kesulitan
mendapat partner seks dewasa. Pedofil hanya tertarik pada anak-anak (atau remaja) sebagai media pemuas
nafsu seks mereka. Psikiater asal Wina, Austria, Richard von Krafft-Ebing dalam tulisannya, Psychopathia Sexualis pada tahun 1886, menyatakan bahwa “Pseudopaedofilia” sebagai
kondisi istimewa dimana “individu yang telah kehilangan libido untuk orang dewasa melalui masturbasi dan
kemudian berbalik kepada anak-anak untuk pemuasan nafsu seksual mereka”. [2]
4.
Pencegahan Pedofilia
Berbagai upaya untuk mencegah penyimpangan Pedofilia
salah satunya dengan adanya Teknik pengobatan seperti, terapi perilaku kognitif (seperti terapi relaksasi
dan distraksi) telah terbukti mengurangi tingkat residivisme pada
para pelaku kejahatan seks. Sementara, sejumlah teknik terapi lain yang
diusulkan untuk mengobati Pedofilia sedang dikembangkan, meskipun tingkat
keberhasilannya sangat rendah.Pengobatan terhadap Pedofilia sering kali membutuhkan
kerjasama antara penegak hukum dan profesional kesehatan dan medis.
Sebagai orang
tua, tentu rasa kekhawatiran kita terhadap keamanan dan keselamatan buah hati
kita akan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya kasus kejahatan seks
terhadap anak-anak dan remaja di dalam negeri, saat ini. Namun, selalu ada cara
bagi kita semua untuk setidaknya mengurangi rasa kekhawatiran tersebut.
Pengenalan seks dini terhadap buah hati Anda dapat menjadi salah satu solusi.
Seto Mulyadi, Doktor Psikologi anak Universitas Indonesia (UI) yang
biasa akrab dipanggil Kak Seto itu mengatakan pendidikan seks usia dini dapat
dimulai sejak anak berusia dua setengah hingga tiga tahun.”Pada usia dua
setengah sampai tiga tahun, anak-anak mulai memegang organ intimnya. Jadi,
orang tua dapat memperkenalkan tentang kesehatan reproduksi pada usia
tersebut,”[3]
Ketua pertama Komisi Nasional
Perlindungan Anak (Komnas Anak) itu juga mengatakan, pendidikan seks bisa
dimulai dari bagaimana menjaga kesehatan organ intim anak-anak, mulai dari
harus dibersihkan setiap saat hingga tidak boleh memegang organ intim saat
tangan kotor. Anak juga perlu diajarkan untuk menjaga organ intimnya, seperti
menolak bila orang lain (siapapun, meski saudara terdekatpun) hendak memegang
atau meraba organ intim mereka. Mereka perlu tahu risiko penyakit-penyakit
kelamin menular yang tidak diinginkan bila mereka tidak menjaga kebersihan
organ intim mereka sendiri. Jangan lupa juga untuk mengingatkan anak untuk
tidak meraba, memegang atau mengganggu organ intim orang lain.”Anak harus jadi
garda terdepan untuk melindungi dirinya sendiri. Anak juga perlu diajarkan
berteriak dan melapor kepada orang tua, apabila ada yang ingin meraba organ
intimnya. Hal ini akan dilakukan anak hingga mereka dewasa,” [4]
Perlu juga adanya koordinasi
yang baik antara pihak orang tua dan pihak sekolah, terutama guru (wali kelas
secara langsung) yang melalui waktu paling banyak bersama murid di lingkungan
sekolah. Dengan adanya kerjasama dan komunikasi yang baik diantara orang tua
dan guru kelas, tanggung jawab akan peranan masing-masing akan dapat lebih
ditingkatkan, dan diharapkan keamanan dan keselamatan bagi anak yang
ada di sekolah pun akan
lebih terjaga.
2.2. ETIKA KRISTEN
Etika berasal dari
bahasa Yunani yaitu ethos (tunggal)
dan ta etha (jamak).[5] Ethos
memiliki beberapa pengertian yaitu sebagai tempat tinggal, baik untuk manusia
maupun untuk binatang. Arti ini penting karena mempunyai sangkut paut dengan
tempat dimana kita tinggal dan dimana kita berada.[6]
Selain tempat tinggal ethos juga
berarti kebiasaan, akhlak, watak, perasaan, sikap, cara berpikir dan cara
bertindak. Sedangkan ta etha artinya
adat istiadat atau adat kebiasaan.[7]
Dari etimologi inilah dapat ditarik dua kata yang berlaku umum untuk memahami
etika yaitu karakter (character) dan kebiasaan (custom) yang kemudian dikenal
dengan istilah tunggal (ethics).[8]
Karakter tidak mudah dirumuskan tapi dapat dipaparkan berdasarkan berbagai
elemen yang ada di dalamnya seperti yang dikutip oleh Saut Sirait dari Encyclopaedia Britannica, Chicago: Encyclopaedia
Britannica Inc. 1951 Vol.5 hlm. 243
dan Vol.6 hlm.903, yaitu Insting, Emosi,
Gerak Hati atau Impuls, Keinginan atau Nafsu.
Pengertian
etika kemudian berkembang ketika dimasukkan dalam Kamus Bahasa Indonesia yang
lama (Poerwadarminta, 1953) yang mengartikan etika sebagai ilmu pengetahuan
tentang asas-asas moral. Jadi kamus lama hanya mengenal etika sebagai ilmu.[9]
Sedangkan sekarang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diberikan penjelasan
tentang etika dalam tiga pengertian yaitu :
1. Ilmu tentang apa yang baik dan buruk dan
tentang hak dan kewajiban moral (akhlak)
2. Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan
dengan moral (akhlak)
3.
Nilai mengenai benar dan salah yang di anut suatu golongan atau masyarakat[10]
Dari tiga pengertian
yang diberikan ini maka, etika mengandung pengertian sebagai ilmu tentang apa yang
baik dan buruk (filsafat moral), juga berarti kumpulan asas atau moral (kode etik) dan
dipakai dalam arti nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi
seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah laku.[11]
Memang
kata yang cukup dekat dengan etika ialah moral yang berasal dari bahasa Latin Mos (Jamak: mores) yang juga berarti adat kebiasaan.[12]
Walaupun cukup dekat tapi etika dan moral harus dibedakan seperti yang
diuraikan Magnis Suseno berikut:
Etika
bukan suatu sumber tambahan bagi ajaran moral, melainkan merupakan filsafat
atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan
pandangan-pandangan moral. Etika adalah sebuah ilmu, bukan sebuah ajaran. Jadi
etika dan moral tidak berada pada tingkat yang sama yang mengatakan bagaimanan
kita harus hidup, bukanlah etika melainkan ajaran moral. Etika mau mengerti
mengapa kita harus mengikuti ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita dapat
mengambil sikap yang bertanggung jawab dan berhadapan pelbagai ajaran moral.
Sekaligus etika dikatakan kurang dan lebih dari ajaran moral. Dikatakan kurang
karena etika tidak berwenang untuk menetapkan apa yang boleh kita lakukan dan
apa yang tidak. Dan dikatakan lebih karena etika berusaha untuk mengerti
mengapa, atau atas dasar apa kita harus hidup menurut norma-norma tertentu.[13]
2.3.Pandangan Alkitab
Alkitab tidak menabukan topik seks.
Alkitab membahasnya secara bermartabat, terus terang, dan tidak bertele-tele.
Diperlihatkan bahwa Allah merancang keintiman seksual sebagai kesenangan bagi
suami dan istri. (Amsal 5:15-20) Akan tetapi, hubungan seksual yang
dilakukan tanpa adanya ikatan pernikahan lawan jenis yang kudus merupakan dosa.
Seorang
anak tidak bisa memahami sepenuhnya makna perbuatan seksual, ia pun tidak bisa
membayangkan akibat-akibatnya pada tahun-tahun mendatang. Karena itu, umum
diterima bahwa anak-anak tidak bisa benar-benar setuju untuk melakukan hubungan
seks. Dengan kata lain, jika seorang dewasa (atau anak muda yang jauh lebih
tua) melakukan hubungan dengan seorang anak, orang yang lebih tua tersebut
tidak bisa berdalih dengan mengatakan bahwa si anak tidak berkeberatan atau
bahwa si anak yang memintanya. Orang dewasa itu bersalah melakukan pemerkosaan.
Ini adalah tindak kejahatan, sering kali dengan ancaman hukuman penjara. Yang
bertanggung jawab atas pemerkosaan itu adalah si pemerkosa, bukan korbannya.
Alkitab mengatakan, ”Segala sesuatu telanjang dan terbuka di mata dia yang
kepadanya kita memberikan pertanggungjawaban.”Ibrani
4:13. Allah meminta pertanggungjawaban kita jika
kita melanggar perintah-perintah-Nya dan menyakiti orang lain.
Dalam
Roma 12:1,2
“ karena itu,
saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu
mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang
berkenan kepada Allah; itu adalah ibadahmu yang sejati.”
Dalam ayat ini dengan jelas rasul paulus
menyatakan kehendak Allah bagi kita, yaitu mempersembahkan TUBUH kita sebagai
persembahan yang hidup, kudus dan berkenan kepada Allah. Namun yang diminta
bukanlah persembahan roh tapi tubuh kita ( tidak termasuk alat seksuil kita).
Persembahan yang hidup
tentu tidak berarti persembahan yang mati atau setengah hidup. Memang adalah
lebih sukar bagi kita untuk hidup bagi Kristus daripada mati bagiNya. Ketika
kita ingin mati bagi Kristus maka kita perlu kuat dan bertahan sampai kepada
maut demi Kristus. Dan ketika kita ingin hidup bagi Kristus kita harus
mempertuhankan Kristus setiap waktu dalam kehidupan kita.
juga bukan diminta
persembahan yang sudah setengah hidup / setengah mati maksudnya organ-organ
tubuh paru-paru yang sudah rusak karena tindakan kita selalu diasapi dengan
barang-barang yang kotor, otak yang sudah tunpul dan banyak sel yang mati
karena penggunaan obat-obat terlarang seperti ganja, morfin dll. Yang diminta
ialah persembahan yang utuh , dan bukan berarti orang yang sudah tua tak
berdaya sakit-sakitan atau yang tak ber I.Q tinggi tidak diterima tubuhnya oleh
Allah, tetapi kita patut mempersembahkan bagiNya yang terbaik yang kita miliki.
Persembahan tubuh kita
juga wajib ada dalam kekudusan atau kesucian. Kita tidak memberikan tubuh yang
kita pakai untuk hal-hal yang tidak dikehendaki Tuhan, misalnya perjinahan dan
memakai tubuh kita hanya karena uang.
-
1 korintus 6:15-20
“
Tidak
tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah anggota kristus? Akan kuambilkah anggota Kristus
untuk menyerahkannya kepada percabulan? Sekali-kali tidak! Atau tidak tahukah
kamu, bahwa siapa mengikatkan dirinya pada perempuan cabul, menjadi satu tubuh
dengan dia? Sebab demikianlah kata nas : “ keduanya akan menjadi satu daging.”
Tetapi siapa yang mengikatkan dirinya pada Tuhan, menjadi satu roh dengan
Tuhan. Jauhkanlah dirimu dari percabulan! Setiap dosa lain yang dilakukan
manusia, terjadi diluar dirinya. Tetapi orang yang melakukan percabulan berdosa
terhadap dirinya sendiri. Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait
Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri?
Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar; karena itu
muliakanlah Allah dengan tubuhmu!”
Dalam ayat-ayat ini
sangat jelas akan kehendak Allah dinyatakan kepada kita, anak-anakNya. Kita
dilarang untuk terlibat melakukan perjinahan. Hubungan seks hanya bisa
dilakukan dengan satu orang saja yaitu suami/istri yang telah dinikahkan. Tubuh kita ( bukan roh kita) yang sekarang
adalah bait Roh Kudus. Roh Kudus diam didalam kita. Karena itu apa yang menjadi
kepunyaan Allah tidak boleh disatukan dengan perempuan atau lelaki cabul. Kita
tidak memiliki hak atas tubuh ini, dan tubuh ini tidak boleh disalahgunakan
untuk berbuat dosa, tapi tubuh ini seharusnya dipakai untuk kemuliaan Allah.
Bisa dilihat bahwa
Allah melalui firmanNya menyatakan kepada kita sebagai ciptaanNya bahwa
Perjinahan merupakan sesuatu Dosa dan tidak boleh dilakukan. Dengan demikian, ketika
kita mengerti akan kehendak Allah maka kita tidak mudah terjebak dengan
penyimpangan seksual yang dilakukan kepada anak masih sangat dibawah umur. [14]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kasus
kekerasan seksual terhadap anak, kian hari kian menghawatirkan. Kasusnya yang
semakin meningkat membuat para orang tua harus lebih ekstra dalam melakukan
pengawasan terhadap anaknya.Pelecehan/ kekerasan seksual
merupakan tindakan seksual yang tidak diinginkan oleh korban yang menimbulkan
kerusakan baik itu kerusakan fisik maupun mental pada korban. Pelecehan seksual terhadap anak
adalah suatu bentuk penyiksaan anak di mana orang dewasa atau remaja yang lebih
tua menggunakan anak untuk rangsangan seksual.
Kasus kekerasan seksual terhadap anak akan semakin
meningkat apabila kita semua terutama pemerintah dan para orang tua tidak
melakukan pencegahan sejak dini. Intinya kita semua harus bisa
mencegah terjadinya perbuatan yang tidak berprikemanusiaan ini. Orang tua dan
pemerintah mempunyai peran yang sangat penting dalam hal pencegahan. Agar para
pelaku memiliki efek jera, sebaiknya pemerintah meberikan hukuman yang sangat
berat mungkin. Sehingga para pelaku akan berfikir seribu kali untuk ketika
mereka hendak melakukan kekersan seksual terhadap anak.
Keluarga
yang ideal adalah keluarga yang mampu menjalankan fungsi
psikologis
yaitu memberikan rasa aman, menerima semua anggotanya secara wajar apa adanya,
dan memberikan dukungan psikologis sehingga dapat menjadi tempat untuk
pembentukan identitas diri. Namun tidak semua keluarga bisa menjalankan
fungsi-fungsinya dan membentuk keluarga yang ideal.
Dengan demikian mudah-mudahan tidak akan ada
lagi anak yang mengalami kekerasan. Baik itu kekerasan seksual maupun kekerasan
lainnya. Karena kita semua tahu bahwa anak adalah titipan dari Allah swt. Oleh
karena itu kita harus bisa menjaga titipan Nya dengan sebaik mungkin.
B.
SARAN
1. Orang tua harus bisa lebih
ekstra dalam memberikan perhatian yang khusus untuk mencegah terjadinya
perilaku yang menyimpang.
2. Pemerintah harus mampu
mencegah serta bertindak tegas terhadap pelaku kekerasan seksual
3. Pembinaan terhadap para pelaku
agar ketika pelaku bebas dari hukuman kasus kekerasan seksual yg dilakukannya
pada anak tidak diulangi lagi dikemudian hari.
4. perlu adanya kerjasama antara pihak-pihak keagamaan, pemerintah,
keluarga untuk mencegah terjadinya tindakan kejahatan terhadap anak.
5. peran pastoral konseling juga sangat penting bagi anak yang menjadi
korban pelecehan seksual.
DAFTAR PUSTAKA
Abineno Ch, Sekitar Etika dan Soal-Soal Etis ,Jakarta : BPK. Gunung Mulia, 1996.
Abu Ahmadi dan Munawar Sholeh, Psikologi Perkembangan Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 2005.
Aart Martin Van Beek, Konseling Pastoral Semarang: Satya Wacana, 1997
Bertenz K, Etika J,akarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002.
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia Jakarta:
Balai Pustaka, 1990
Desmita, Psikologi Perkembangan.
Bandung: Rosda Karya, 2005.
Enklaar, Pendidikan Agama Kristen, Jakarta ;Gunung mulia, 2011.
Gunarsa Singgih, Psikologi Praktis Anak, Remaja dan Keluarga Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002.
Hommes & G.Singgih , Teologi dan Praksis Pastoral Yogyakarta
: Kanisius & Jakarta : BPK Gunung Mulia 1992.
Jahja
Yudrik, Psikologi Perkembangan, Jakarta:
Kencana,2011
Koetjaraningrat, Metode-metode Penelitian
Masyarakat, Gramedia (Jakarta : 1985
Masyuri dan Zainudin,Metodologi Penelitian Pendekatan
Praktis dan Aplikatif,( Jakarta:2009
Sirait
Saut,
Politik Kristen di Indonesia;
Suatu Tinjauan Etis, Jakarta : BPK. Gunung Mulia, 2001
Subagyo Joko, Metode Penelitian Teori
dan Praktek, Rineka Cipta Jakarta : 1997
Surachmad Winarno, Dasar dan Teknik
Researgh, Remadja Karya (Bandung : 1989)
Suryabrata,
Psikologi
Kepribadian. Jakarta : Rajawali. 2004
[1] http://artikel-luarbiasa.blogspot.com/2012/06/jenis pedofilia-pada.html ( diakses 04 oktober 2014)
[2] Yudrik Jahja, Psikologi
Perkembangan:Jakarta,Kencana,2011,Hal. 203
[3] Seto Mulyadi, Psikologi Anak,
Jakarta 2012
[4] http://artikel-luarbiasa.blogspot.com/2012/06/pencegahan
pedofilia-pada.html
( diakses 04 oktober 2014)
[5] K.Bertenz, Etika (Jakarta : PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2002), hlm. 4
[6] J.L.Ch. Abineno, Sekitar Etika
dan Soal-Soal Etis (Jakarta
: BPK. Gunung Mulia, 1996), hlm. 2
[7] Ibid.
[8] Bnd. Saut Sirait, Politik
Kristen di Indonesia; Suatu Tinjauan Etis (Jakarta : BPK. Gunung Mulia, 2001), hlm.12
[9] Bertenz,Op.Cit, hlm. 5
[10] Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
1988
[11] Bnd. Bertenz, Op.Cit, hlm. 6
[12] Bertens, Op.Cit., hlm.4
[13] Suseno, Op.Cit.,hlm. 14
[14] Dr. I.H Enklaar, Pendidikan Agama Kristen, Jakarta ;Gunung mulia,
2011, hlm. 164