Thursday, 24 May 2018

Tinjauan Etika Kristen terhadap Kasus Pedofilia



BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
Anak adalah generasi penerus bangsa yang memiliki peran strategis, ciri-ciri,serta sifat-sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Oleh karena itu potensi anak perlu dikembangkan semaksimal mungkin, serta mereka perlu dilindungi  dari berbagai tindak kekerasan dan diskriminasi agar hak-hak  anak dapat terjamin dan terpenuhi sehingga mereka dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan kemampuannya demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas dan berakhlak mulia.
Anak perlu dilindungi karena mereka sangat rentan serta potensial menjadi korban kekerasan dan kesewenangan orang dewasa, perlindungan diberikan agar mereka dapat menjadi anak Indonesia yang sehat dan sejahtera bahkan mereka perlu diberikan perlindungan khusus agar terhindar dari berbagai tindakan yang menyimpang,
Perkembangan menunjukkan suatu proses tertentu, yaitu suatu proses yang menuju ke depan dan tidak dapat di ulang kembali. Anak-anak di usianya masing-masing merasa senang dengan perkembangan yang dialaminya, baik dalam dirinya maupun di lingkungannya. Dalam hal ini anak-anak yang berusia 2-5 tahun yaitu masa balita, masa prasekolah. Pada masa ini pertumbuhan fisik berjalan terus. Selain perkembangan fisik yang boleh dilihat, perkembangan gerakan, kemampuan berbicara bertambah maju begitu juga dengan perbendaharaan kata bertambah banyak.
Dizaman Era globalisasi ini, kita bisa melihat adanya perubahan yang signifikan dan telah terjadi degredasi moral dan sosial budaya yang cenderung kepada pola perilaku yang menyimpang salah satunya terjadi penyimpangan seksual. Penyimpangan seksual adalah aktivitas seksual yang ditempuh seseorang untuk mendapatkan kenikmatan seksual dengan tidak sewajarnya. Biasanya, cara yang digunakan oleh orang tersebut adalah menggunakan obyek seks yang tidak wajar.
Penyebab terjadinya kelainan ini bersifat psikologis atau kejiwaan, seperti pengalaman sewaktu kecil, dari lingkungan pergaulan, dan faktor genetik. Salah satu penyimpangan seksual yang sering terjadi ialah Pedofilia. Pedofilia adalah kelainan seksual  berupa hasrat ataupun fantasi impuls seksual yang dilakukan oleh pria dewasa dan melibatkan anak perempuan di bawah umur.  
Salah satu contoh kasus terjadinya penyimpangan Pedofilia yaitu di Jakarta Internasional School ( JIS) salah satu pelaku ialah Guru bidang studi dengan melakukan penyimpangan kepada muridnya sendiri. Sehingga timbulnya  sifat protectivenya orang tua terhadap sang anak dan kewaspadaan, terlebih ketidakpercayaan terhadap pihak sekolah dikarenakan trauma terhadap penyimpangan seksual, bahkan meskipun keamanan sekolah sudah sangat diperketat, tetap saja kasus ini berulang kali terjadi. Ada juga contoh kasus penyimpangan pedofilia yang dilakukan oleh seorang ayah terhadap anaknya sendiri yang masih berusia 10 tahun dan penyimpangan seksual ini juga saat peneliti melakukan penelitian, ada juga yang melakukan penyimpangan seksual di Kecamatan Tikala, pelaku ada yang Kristen dan Non Kristen.
Segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual terhadap lawan jenis maupun sesama jenis yang dilakukan diluar hubungan pernikahan bertentangan dengan norma-norma dan etika, yang tidak bisa diterima secara umum. Segala sesuatu itu tidak akan terjadi jika tidak ada sebabnya seperti pepatah mengatakan “Tak akan ada asap jika tidak ada api”. Mereka perlu dilindungi  dari berbagai tindak kekerasan, diskriminasi, penyimpangan seksual, agar hak-hak  anak dapat terjamin dan terpenuhi sehingga mereka dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan kemampuannya demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas dan berakhlak mulia. Sehubungan dengan adanya penyimpangan pedofilia maka dalam penelitian ini penulis ingin meneliti lebih lanjut dan memberi judul Tinjauan Etika Kristen terhadap Kasus Pedofilia di ….
1.2  Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis mengidentifikasikan masalah yang ada sebagai berikut:
a.       Perkembangan zaman yang semakin moderen memberikan berbagai macam kemudahan untuk melakukan hubungan seksual. Sehingga berdampak pada Anak yang belum cukup umur.
b.      Dampak dari Pedofilia berpengaruh pada Psikologi Anak.
c.       Kurangnya pengawasan dari orang tua terhadap anak sehingga terjadinya kesempatan bagi penderita Pedofilia.
d.      Kurangnya peran Pastoral Konseling terhadap Pedofilia.

1.3  Perumusan Masalah
a.       Bagaimana perkembangan zaman memberikan kemudahan bagi Pedofilia untuk melakukan hubungan seksual ?
b.      Bagaimana dampak negative dari Pedofilia terhadap psikologi Anak ?
c.       Bagaimana peran orangtua terhadap anak dalam meningkatkan kesadaran dan pengawasan dengan tidak terjadi pelecehan seksual ?
d.      Bagaimana peran Pastoral Konseling terhadap Pedofilia ?
1.4  Tujuan Penelitian
Tujuan dari pnelitian ini sebagai berikut:
a.       Untuk menganalisis berbagai macam cara kemudahan yang dilakukan penderita pedofilia terhadap anak.
b.      Untuk mengetahui dampak negative dari penderita Pedofilia terhaap psikologi anak.
c.       Untuk menganalisis peran orangtua dalam meningkatkan pengawasan terhadap anak.
d.      Untuk menganalisis peran pastoral konseling terhadap penderita Pedofilia.
1.5. Manfaat Penelitian
            Manfaat Teoritis
Secara Teoritis diharapkan melalui penelitian ini dapat menghasilkan Idea atau temuan yang dapat memberikan kontribusi bagi upaya pengembangan keilmuan Pastoral Konseling terutama yang berkaitan dengan masalah Anak.
            Manfaat Praktis
Secara praktis, manfaat dari penelitian ini adalah :
a.       Bagi Peneliti
Memberikan data yang tepat mengenai bagaimana peran Pastoral Konseling dalam meningkatkan kesadaran bagi penderita Pedofilia.
b.      Bagi Orangtua
Memberikan masukan Positif tentang meningkatkan kesadaran yang harus dilakukan oleh orangtua terhadap Anak.
c.       Bagi Gereja
Memberikan masukan Positif bagi Gereja, GMIM khususnya untuk terus mempedulikan perkembangan anak dan penderita Pedofilia sehingga lambat laun akan berkuranya objek (anak) yang menjadi korban.












BAB II
KAJIAN TEORI

2.1.Apa itu sebenarnya Pedofilia?
Menurut dokter spesialis kejiwaan dari Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, Teddy Hidayat, ada tiga jenis Pedofilia yaitu :
1.      Immature Pedophiles, pengidap Immature Pedophiles cenderung melakukan pendekatan kepada targetnya yang masih anak-anak di bawah umur. Misalnya dengan cara mengiming-imingi korban dengan hal-hal menyenangkan seperti permen, uang jajan atau permainan.
2.      Regressed Pedophiles. Pemilik kelainan seksual ini biasanya memiliki istri sebagai kedok penyimpangan orientasi seksualnya. Tak jarang pasangan ini memiliki masalah seksual dalam rumah tangga mereka. Menurut beliau, dalam beroperasi, tipe ini langsung main paksa terhadap korbannya, tanpa ada iming-iming tertentu.
3.      Agressive Pedophiles. Orang tipe ini rata-rata memiliki perilaku anti-sosial di lingkungannya. Tipe ini biasanya memiliki keinginan untuk menyerang korbannya, bahkan tidak jarang berpotensi membunuh korbannya setelah dinikmati.[1]
3.      Penyebab Terjadinya Pedofilia
Penderita Pedofilia kebanyakan adalah yang memiliki dua kemungkinan: pertama, dulunya adalah juga korban pencabulan anak dan/atau kedua, gemar mencari variasi dalam usaha mendapatkan kepuasan seksual, mungkin karena bosan dengan partner seksnya atau malah kesulitan mendapat partner seks dewasa. Pedofil hanya tertarik pada anak-anak (atau remaja) sebagai media pemuas nafsu seks mereka. Psikiater asal  Wina, Austria, Richard von Krafft-Ebing dalam tulisannya, Psychopathia Sexualis pada tahun 1886, menyatakan bahwa “Pseudopaedofilia” sebagai kondisi istimewa dimana “individu yang telah kehilangan  libido  untuk orang dewasa melalui masturbasi dan kemudian berbalik kepada anak-anak untuk pemuasan nafsu seksual mereka”. [2]
4.      Pencegahan Pedofilia
Berbagai upaya untuk mencegah penyimpangan Pedofilia salah satunya dengan adanya   Teknik pengobatan seperti, terapi perilaku kognitif (seperti terapi relaksasi dan distraksi) telah terbukti mengurangi tingkat residivisme pada para pelaku kejahatan seks. Sementara, sejumlah teknik terapi lain yang diusulkan untuk mengobati Pedofilia sedang dikembangkan, meskipun tingkat keberhasilannya sangat rendah.Pengobatan terhadap Pedofilia sering kali membutuhkan kerjasama antara penegak hukum dan profesional kesehatan dan medis.
Sebagai orang tua, tentu rasa kekhawatiran kita terhadap keamanan dan keselamatan buah hati kita akan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya kasus kejahatan seks terhadap anak-anak dan remaja di dalam negeri, saat ini. Namun, selalu ada cara bagi kita semua untuk setidaknya mengurangi rasa kekhawatiran tersebut. Pengenalan seks dini terhadap buah hati Anda dapat menjadi salah satu solusi. Seto Mulyadi, Doktor Psikologi anak Universitas Indonesia (UI) yang biasa akrab dipanggil Kak Seto itu mengatakan pendidikan seks usia dini dapat dimulai sejak anak berusia dua setengah hingga tiga tahun.”Pada usia dua setengah sampai tiga tahun, anak-anak mulai memegang organ intimnya. Jadi, orang tua dapat memperkenalkan tentang kesehatan reproduksi pada usia tersebut,”[3]
Ketua pertama Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak) itu juga mengatakan, pendidikan seks bisa dimulai dari bagaimana menjaga kesehatan organ intim anak-anak, mulai dari harus dibersihkan setiap saat hingga tidak boleh memegang organ intim saat tangan kotor. Anak juga perlu diajarkan untuk menjaga organ intimnya, seperti menolak bila orang lain (siapapun, meski saudara terdekatpun) hendak memegang atau meraba organ intim mereka. Mereka perlu tahu risiko penyakit-penyakit kelamin menular yang tidak diinginkan bila mereka tidak menjaga kebersihan organ intim mereka sendiri. Jangan lupa juga untuk mengingatkan anak untuk tidak meraba, memegang atau mengganggu organ intim orang lain.”Anak harus jadi garda terdepan untuk melindungi dirinya sendiri. Anak juga perlu diajarkan berteriak dan melapor kepada orang tua, apabila ada yang ingin meraba organ intimnya. Hal ini akan dilakukan anak hingga mereka dewasa,” [4]
Perlu juga adanya koordinasi yang baik antara pihak orang tua dan pihak sekolah, terutama guru (wali kelas secara langsung) yang melalui waktu paling banyak bersama murid di lingkungan sekolah. Dengan adanya kerjasama dan komunikasi yang baik diantara orang tua dan guru kelas, tanggung jawab akan peranan masing-masing akan dapat lebih ditingkatkan, dan diharapkan keamanan dan keselamatan bagi anak yang ada di sekolah pun akan lebih terjaga.
 2.2. ETIKA KRISTEN
Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos (tunggal) dan ta etha (jamak).[5] Ethos memiliki beberapa pengertian yaitu sebagai tempat tinggal, baik untuk manusia maupun untuk binatang. Arti ini penting karena mempunyai sangkut paut dengan tempat dimana kita tinggal dan dimana kita berada.[6] Selain tempat tinggal ethos juga berarti kebiasaan, akhlak, watak, perasaan, sikap, cara berpikir dan cara bertindak. Sedangkan ta etha artinya adat istiadat atau adat kebiasaan.[7] Dari etimologi inilah dapat ditarik dua kata yang berlaku umum untuk memahami etika yaitu karakter (character) dan kebiasaan (custom) yang kemudian dikenal dengan istilah tunggal (ethics).[8] Karakter tidak mudah dirumuskan tapi dapat dipaparkan berdasarkan berbagai elemen yang ada di dalamnya seperti yang dikutip oleh Saut Sirait dari Encyclopaedia Britannica, Chicago: Encyclopaedia Britannica Inc. 1951 Vol.5 hlm. 243 dan Vol.6 hlm.903, yaitu Insting, Emosi, Gerak Hati atau Impuls, Keinginan atau Nafsu.
Pengertian etika kemudian berkembang ketika dimasukkan dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama (Poerwadarminta, 1953) yang mengartikan etika sebagai ilmu pengetahuan tentang asas-asas moral. Jadi kamus lama hanya mengenal etika sebagai ilmu.[9] Sedangkan sekarang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diberikan penjelasan tentang etika dalam tiga pengertian yaitu :
1.  Ilmu tentang apa yang baik dan buruk dan tentang hak dan kewajiban moral  (akhlak)
2.   Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan moral (akhlak)
3. Nilai mengenai benar dan salah yang di anut suatu golongan atau   masyarakat[10]
Dari tiga pengertian yang diberikan ini maka, etika mengandung pengertian sebagai ilmu tentang apa yang baik dan buruk (filsafat moral), juga berarti kumpulan asas atau moral (kode etik) dan dipakai dalam arti nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah laku.[11]
Memang kata yang cukup dekat dengan etika ialah moral yang berasal dari bahasa Latin Mos (Jamak: mores) yang juga berarti adat kebiasaan.[12] Walaupun cukup dekat tapi etika dan moral harus dibedakan seperti yang diuraikan Magnis Suseno berikut:
Etika bukan suatu sumber tambahan bagi ajaran moral, melainkan merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika adalah sebuah ilmu, bukan sebuah ajaran. Jadi etika dan moral tidak berada pada tingkat yang sama yang mengatakan bagaimanan kita harus hidup, bukanlah etika melainkan ajaran moral. Etika mau mengerti mengapa kita harus mengikuti ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita dapat mengambil sikap yang bertanggung jawab dan berhadapan pelbagai ajaran moral. Sekaligus etika dikatakan kurang dan lebih dari ajaran moral. Dikatakan kurang karena etika tidak berwenang untuk menetapkan apa yang boleh kita lakukan dan apa yang tidak. Dan dikatakan lebih karena etika berusaha untuk mengerti mengapa, atau atas dasar apa kita harus hidup menurut norma-norma tertentu.[13]
2.3.Pandangan Alkitab
Alkitab tidak menabukan topik seks. Alkitab membahasnya secara bermartabat, terus terang, dan tidak bertele-tele. Diperlihatkan bahwa Allah merancang keintiman seksual sebagai kesenangan bagi suami dan istri. (Amsal 5:15-20) Akan tetapi, hubungan seksual yang dilakukan tanpa adanya ikatan pernikahan lawan jenis yang kudus merupakan dosa.
Seorang anak tidak bisa memahami sepenuhnya makna perbuatan seksual, ia pun tidak bisa membayangkan akibat-akibatnya pada tahun-tahun mendatang. Karena itu, umum diterima bahwa anak-anak tidak bisa benar-benar setuju untuk melakukan hubungan seks. Dengan kata lain, jika seorang dewasa (atau anak muda yang jauh lebih tua) melakukan hubungan dengan seorang anak, orang yang lebih tua tersebut tidak bisa berdalih dengan mengatakan bahwa si anak tidak berkeberatan atau bahwa si anak yang memintanya. Orang dewasa itu bersalah melakukan pemerkosaan. Ini adalah tindak kejahatan, sering kali dengan ancaman hukuman penjara. Yang bertanggung jawab atas pemerkosaan itu adalah si pemerkosa, bukan korbannya. Alkitab mengatakan, ”Segala sesuatu telanjang dan terbuka di mata dia yang kepadanya kita memberikan pertanggungjawaban.”Ibrani 4:13. Allah meminta pertanggungjawaban kita jika kita melanggar perintah-perintah-Nya dan menyakiti orang lain.
Dalam Roma 12:1,2
“ karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah; itu adalah ibadahmu yang sejati.”

 Dalam ayat ini dengan jelas rasul paulus menyatakan kehendak Allah bagi kita, yaitu mempersembahkan TUBUH kita sebagai persembahan yang hidup, kudus dan berkenan kepada Allah. Namun yang diminta bukanlah persembahan roh tapi tubuh kita ( tidak termasuk alat seksuil kita).
Persembahan yang hidup tentu tidak berarti persembahan yang mati atau setengah hidup. Memang adalah lebih sukar bagi kita untuk hidup bagi Kristus daripada mati bagiNya. Ketika kita ingin mati bagi Kristus maka kita perlu kuat dan bertahan sampai kepada maut demi Kristus. Dan ketika kita ingin hidup bagi Kristus kita harus mempertuhankan Kristus setiap waktu dalam kehidupan kita.
juga bukan diminta persembahan yang sudah setengah hidup / setengah mati maksudnya organ-organ tubuh paru-paru yang sudah rusak karena tindakan kita selalu diasapi dengan barang-barang yang kotor, otak yang sudah tunpul dan banyak sel yang mati karena penggunaan obat-obat terlarang seperti ganja, morfin dll. Yang diminta ialah persembahan yang utuh , dan bukan berarti orang yang sudah tua tak berdaya sakit-sakitan atau yang tak ber I.Q tinggi tidak diterima tubuhnya oleh Allah, tetapi kita patut mempersembahkan bagiNya yang terbaik yang kita miliki.
Persembahan tubuh kita juga wajib ada dalam kekudusan atau kesucian. Kita tidak memberikan tubuh yang kita pakai untuk hal-hal yang tidak dikehendaki Tuhan, misalnya perjinahan dan memakai tubuh kita hanya karena uang.
-          1 korintus 6:15-20
 Tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah anggota kristus? Akan kuambilkah anggota Kristus untuk menyerahkannya kepada percabulan? Sekali-kali tidak! Atau tidak tahukah kamu, bahwa siapa mengikatkan dirinya pada perempuan cabul, menjadi satu tubuh dengan dia? Sebab demikianlah kata nas : “ keduanya akan menjadi satu daging.” Tetapi siapa yang mengikatkan dirinya pada Tuhan, menjadi satu roh dengan Tuhan. Jauhkanlah dirimu dari percabulan! Setiap dosa lain yang dilakukan manusia, terjadi diluar dirinya. Tetapi orang yang melakukan percabulan berdosa terhadap dirinya sendiri. Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri? Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar; karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!”

Dalam ayat-ayat ini sangat jelas akan kehendak Allah dinyatakan kepada kita, anak-anakNya. Kita dilarang untuk terlibat melakukan perjinahan. Hubungan seks hanya bisa dilakukan dengan satu orang saja yaitu suami/istri yang telah dinikahkan.  Tubuh kita ( bukan roh kita) yang sekarang adalah bait Roh Kudus. Roh Kudus diam didalam kita. Karena itu apa yang menjadi kepunyaan Allah tidak boleh disatukan dengan perempuan atau lelaki cabul. Kita tidak memiliki hak atas tubuh ini, dan tubuh ini tidak boleh disalahgunakan untuk berbuat dosa, tapi tubuh ini seharusnya dipakai untuk kemuliaan Allah.
Bisa dilihat bahwa Allah melalui firmanNya menyatakan kepada kita sebagai ciptaanNya bahwa Perjinahan merupakan sesuatu Dosa dan tidak boleh dilakukan. Dengan demikian, ketika kita mengerti akan kehendak Allah maka kita tidak mudah terjebak dengan penyimpangan seksual yang dilakukan kepada anak masih sangat dibawah umur. [14]












BAB III
PENUTUP

A.   Kesimpulan
Kasus kekerasan seksual terhadap anak, kian hari kian menghawatirkan. Kasusnya yang semakin meningkat membuat para orang tua harus lebih ekstra dalam melakukan pengawasan terhadap anaknya.Pelecehan/ kekerasan seksual merupakan tindakan seksual yang tidak diinginkan oleh korban yang menimbulkan kerusakan baik itu kerusakan fisik maupun mental pada korban. Pelecehan seksual terhadap anak adalah suatu bentuk penyiksaan anak di mana orang dewasa atau remaja yang lebih tua menggunakan anak untuk rangsangan seksual.
Kasus kekerasan seksual terhadap anak akan semakin meningkat apabila kita semua terutama pemerintah dan para orang tua tidak melakukan pencegahan sejak dini. Intinya kita semua harus bisa mencegah terjadinya perbuatan yang tidak berprikemanusiaan ini. Orang tua dan pemerintah mempunyai peran yang sangat penting dalam hal pencegahan. Agar para pelaku memiliki efek jera, sebaiknya pemerintah meberikan hukuman yang sangat berat mungkin. Sehingga para pelaku akan berfikir seribu kali untuk ketika mereka hendak melakukan kekersan seksual terhadap anak.
Keluarga yang ideal adalah keluarga yang mampu menjalankan fungsi
psikologis yaitu memberikan rasa aman, menerima semua anggotanya secara wajar apa adanya, dan memberikan dukungan psikologis sehingga dapat menjadi tempat untuk pembentukan identitas diri. Namun tidak semua keluarga bisa menjalankan fungsi-fungsinya dan membentuk keluarga yang ideal.
Dengan demikian mudah-mudahan tidak akan ada lagi anak yang mengalami kekerasan. Baik itu kekerasan seksual maupun kekerasan lainnya. Karena kita semua tahu bahwa anak adalah titipan dari Allah swt. Oleh karena itu kita harus bisa menjaga titipan Nya dengan sebaik mungkin.


B.   SARAN
1.      Orang tua harus bisa lebih ekstra dalam memberikan perhatian yang khusus untuk mencegah terjadinya perilaku yang menyimpang.
2.      Pemerintah harus mampu mencegah serta bertindak tegas terhadap pelaku kekerasan seksual
3.      Pembinaan terhadap para pelaku agar ketika pelaku bebas dari hukuman kasus kekerasan seksual yg dilakukannya pada anak tidak diulangi lagi dikemudian hari.                   
4. perlu adanya kerjasama antara pihak-pihak keagamaan, pemerintah, keluarga untuk mencegah terjadinya tindakan kejahatan terhadap anak.
5. peran pastoral konseling juga sangat penting bagi anak yang menjadi korban pelecehan seksual.















DAFTAR PUSTAKA
Abineno Ch, Sekitar Etika dan Soal-Soal Etis ,Jakarta : BPK. Gunung Mulia, 1996.
Abu Ahmadi dan Munawar Sholeh, Psikologi Perkembangan  Jakarta: PT. Rineka   
Cipta, 2005.
Aart Martin Van Beek, Konseling Pastoral   Semarang: Satya Wacana, 1997
Bertenz K, Etika J,akarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002.
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia Jakarta: Balai Pustaka, 1990
Desmita,  Psikologi Perkembangan. Bandung: Rosda Karya, 2005.
Enklaar, Pendidikan Agama Kristen, Jakarta ;Gunung mulia, 2011.
Gunarsa Singgih, Psikologi Praktis Anak, Remaja dan Keluarga  Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002.

 Hommes & G.Singgih , Teologi dan Praksis Pastoral Yogyakarta : Kanisius & Jakarta : BPK Gunung Mulia 1992.

Jahja Yudrik, Psikologi Perkembangan, Jakarta: Kencana,2011
Koetjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Gramedia (Jakarta : 1985
Masyuri dan Zainudin,Metodologi Penelitian Pendekatan Praktis dan Aplikatif,( Jakarta:2009
Sirait Saut, Politik Kristen di Indonesia; Suatu Tinjauan Etis, Jakarta : BPK. Gunung Mulia, 2001
Subagyo Joko, Metode Penelitian Teori dan Praktek, Rineka Cipta Jakarta : 1997
Surachmad Winarno, Dasar dan Teknik Researgh, Remadja Karya (Bandung : 1989)
Suryabrata, Psikologi Kepribadian. Jakarta : Rajawali. 2004



[2] Yudrik Jahja, Psikologi Perkembangan:Jakarta,Kencana,2011,Hal. 203
[3] Seto Mulyadi, Psikologi Anak, Jakarta 2012
[5] K.Bertenz, Etika (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm. 4
[6] J.L.Ch. Abineno, Sekitar Etika dan Soal-Soal Etis (Jakarta : BPK. Gunung Mulia, 1996), hlm. 2
[7] Ibid.
[8] Bnd. Saut Sirait, Politik Kristen di Indonesia; Suatu Tinjauan Etis (Jakarta : BPK. Gunung Mulia, 2001), hlm.12
[9] Bertenz,Op.Cit, hlm. 5
[10] Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988
[11] Bnd. Bertenz, Op.Cit, hlm. 6
[12] Bertens, Op.Cit., hlm.4
[13] Suseno, Op.Cit.,hlm. 14
[14] Dr. I.H Enklaar, Pendidikan Agama Kristen, Jakarta ;Gunung mulia, 2011, hlm. 164